“Lalu?”
“Aku mendapat kabar bahwa Elisa pergi bersama orang-orang tersebut. Dia berada di depan itu, persis di sana.” Helen menunjuk ke arah pelataran. “Seseorang mengantarkannya kembali ke rumah. Orang itu tidak tahu banyak. Elisa hanya menangis lalu diam sampai aku memeluknya.”
“Kau ingin berkata bahwa dia telah dinodai?” Wajahku merah meninggi. Aku tidak menyisakan waktu untuk bernapas.
“Aku sudah mendengar kabarnya. Sudah tiga hari. Aku menemui seorang padri untuk menceritakan kejadian ini. Tidak! Dia mengatakan bahwa aku telah keliru. Aku sudah dipengaruhi oleh ketakutan aku sendiri. Aku berpikir seperti yang kau katakan tadi. Namun, tidak ada seorang pun yang mempercayai ceritaku.”
Aku memahami apa yang terjadi dari cerita tersebut. Gadis kecil tanpa perkataan adalah musibah bagi dirinya dan orang di sekitarnya. Helen tidak bermaksud agar aku menyelidiki kejadian ini lebih jauh. Aku sedikit manusiawi di sini, menunggu waktu yang lebih tepat. Sejak saat itu, aku sering mengantar putriku untuk berkunjung ke rumahnya. Aku ingin dia menemani Elisa yang memang seusia dengannya. Amarahku belum berakhir. Kadang-kadang hanya beberapa waktu aku menghanturkan doa. Aku membayangkan hatiku tetap kepada kuasa-Nya, namun doaku akan selalu menuju pada neraka. Tidak untuk saat ini. Kenapa aku harus diam? Kota ini memiliki aturan berbeda. Setiap permasalahan di dalam gereja, semuanya diselesaikan oleh mereka sendiri. Kami tidak berhak lebih dulu untuk menyelidiki. Semakin lama, aku berpikir, apa yang membedakan keyakinan kami yang hidup sebagai Kristiani. Mereka para bandit mampu menciptakan para santo dan santa di kota ini.
Dobri, aku memahaminya, dalam keadaan tertekan seperti ini, apapun yang dilontarkannya cukup kuat untuk menyeragamkan orang-orang yang disebutkan. Lima hari ini, kami sudah mengumpulkan tujuh nama. Namun, apa yang terjadi? Mengendus mereka saja sudah membuahkan kekhawatiran bagi kami. Apalagi sampai kami benar-benar menangkapnya. Di lain sisi, kejaksaan sudah jengah pada desas-desus yang berhembus di luar. Siapa lagi kalau bukan ke tujuh orang tersebut, di antara mereka, ada yang menjadi biang keladi bola panas kasus ini ke masyarakat. Mereka, seperti yang aku katakan tadi, sangat lihai mempermainkan kami.
Jaksa Thohari semakin terjepit. Kota Dain tidak lagi dipandang secara lugu dan damai. Perasaannya sudah teraduk oleh jabatannya yang bisa saja terancam akibat ketidakbecusannya menyelesaikan kasus ini. Aku terus memandang Alkitab yang berdiri rapi di dalam lemari kaca. Para pemimpin dan orang-orang gereja tenang saja dalam kediamannya, mereka seakan telah menyiapkan suatu pembelaan yang jelas akan menjatuhkan kami. Kota ini tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari bunga-bunga indah kebenaran yang diberikan oleh Tuhan. Dana sebanyak itu sudah tersebar, masuk ke dalam 120 proyek pendidikan. KPK tak peduli dengan keluguan orang-orang di sini. Andaikan saja mereka memahaminya, itu tidak akan banyak membantu kami. Dana yang tak jelas apa peruntukkan dan pertanggungjawabannya, patut dipertanyakan.
“Ini. Aku menerima telegram pagi tadi. Nama mereka ada di dalam. Periksalah,” terang Dobri.
“Hanya satu? Bukankah kita menemukan tujuh?”
“Sudahlah, tak usah berlama lagi. Kita sudah tak menentu arahnya. Media sudah membuat pengadilannya sendiri. Masyarakat, lihatlah bagaimana sinis mereka melihat kita yang berjalan. Mereka melihat arah pandang yang berbeda. Kita layaknya setan.”
“Baik. Aku segera mengatur perencanaan. Kau siapkan sepuluh orang.”