“Suster Carol ngomong apa sih?”
Joan mengenal Caroline Nathaniel Verbruggen dua hari setelah ia dirawat di rumah sakit ini. Salah satu perawat rumah sakit itu selalu datang menjenguknya pada malam hari. Saat semua penghuni rumah sakit terlelap dibuai inang mimpi, selepas malam pada saat dini hari menjelang, maka dia akan datang menemani Joan.
Ia juga merawat dengan telaten, membantu melayaninya minum obat, dan juga menungguinya sambil bercerita. Bercerita tentang apa saja. Kadang-kadang ia mendongeng tentang tokoh batil penyihir dari masa lampau, juga cerita-cerita rakyat dari Negeri Kincir Angin.
Tapi ia paling senang bercerita tentang negeri khatulistiwa bernama Nederlands Indisch - Hindia Belanda, kini Indonesia. Juga tentang keindahan pesisir pantai di Moluccas - Maluku, salah satu pulau di negara beriklim tropis itu, tempat di mana moyang Joan beranak-pinak. Sekarang daerah itu bernama Maluku. Bagian dari Republik Indonesia. Ribuan mil jauhnya dari Amsterdam. Salah satu negara yang terletak di Asia Tenggara.
Namun sekarang gadis yang kurang lebih berumur dua tahun lebih tua darinya itu mulai berubah menunjukkan sikap debil. Makna kalimatnya tak terpahami. Intensitas labil yang konstan menyertai tingkah misteriusnya.
“Api membakar semuanya! Api melalap semuanya! Tidak ada yang selamat! Mereka semua terpanggang. Dai Nippon kejam!”
Joan menghela napas panjang. Alam pikirannya babur. Sama sekali tidak mampu menerjemahkan bahasa suster muda itu di dalam benaknya.
Ia termangu lama sampai suster muda itu menghilang di balik pintu bangsalnya.
***
“Caroline Nathaniel Verbruggen.”
“Caroline Nathaniel Verbruggen?!”