“Kapan aku dapat pulang, Suster Carol?”
Wajah suster muda itu sontak babur. Sebuah penggambaran jelas tentang ketidakrelaan. Ia menggigit bibirnya.
“Dua hari lagi kamu pasti bisa pulang.”
“Suster Carol kenapa?”
Gadis itu membeku. Kepalanya menekuk dada. Joan menatapnya dengan rupa mafhum. Ia tahu bagaimana rasanya perpisahan.
“Suster Carol jangan sedih begitu, dong. Kita kan masih bisa ketemu lagi. Tapi, bukan di sini. Tentu saja aku tidak ingin menemui Suster Carol di tempat ini. Heh, Suster Carol pikir enak apa jadi orang sakit?”
Suster muda itu mengurai simpul bibir, berusaha mengakuri guyonan itu sebagai penawar sakit hati. Diteruskannya menunduk, bentuk ritualnya yang karib. Dibenturkannya sepasang matanya ke lantai putih, menghitung serabut hari berupa detik yang bakal jadi pemisah dua hati.
“Tapi….”
“Aku tahu, Suster Carol pasti sedih kalau aku pulang. Aku juga sedih, Suster Carol! Tapi, tidak mungkin kan aku terus menerus terbaring di rumah sakit ini? Kita bisa bertemu kapan dan di mana saja. Aku yang ke rumah Suster Carol, atau Suster Carol yang ke rumahku.”
“Aku tidak memiliki rumah!”
Joan refleks tersenyum. Dipandanginya lamat gadis berseragam putih-putih itu. Ia pasti sedang berguyon.