"Papi ibarat baginda raja yang ada dalam dongeng karyaku di diari itu, Tha. Papi selalu menemani aku. Memenuhi semua permintaanku. Menghiburku di kala aku sedang sedih. Aku cinta Papi. Sayang takdir menghendaki lain. Papi tidak berumur panjang. Tuhan memanggilnya tiga tahun lalu saat berada di Amsterdam dalam rangka bisnis. Papi meninggal karena serangan jantung koroner."
"Ya, Tuhan...."
"Tapi, Papi masih terus berada di dalam hati dan pikiranku, Tha. Sekarang aku hanya dapat menghidupkan tokoh bijak Papi hanya dalam dongeng-dongeng yang aku tulis di diariku itu."
"Val, aku tidak menyangka...."
"Meski Papi sudah tiada, tapi setiap membaca ulang dongeng-dongeng yang aku tulis dalam diariku itu, aku seperti bersua kembali dengan Papi. Bercakap-cakap dengannya, bercanda, atau berapa saja. Aku bahagia. Sangat bahagia."
"Sori peristiwa kemarin...."
"Itu insiden. Aku sudah tidak marah, kok. Cuma kemarin aku lari karena merasa Rio melecehkan diariku. Aku merasa dia sedang menginjak-injak harga diri Papi. Padahal...."
"Dia sudah mengakui kesalahannya. Kemarin dia langsung melayangkan penyesalannya padaku, Val. Katanya juga, dia akan kemari untuk minta maaf kepadamu. Kalau perlu berlutut minta maaf di bawah kakimu."
"Duh, sebegitunya!" Valny sontak tertawa. "Memangnya aku Tuan Putri yang harus disembah sebegitu hormatnya?"
Aretha tertawa, mengiramai bahakan lembut sahabat sebangkunya di kelas itu. Ia merasa lega karena kejadian kemarin sudah surut oleh kearifan Valny. Gadis itu memang memiliki jiwa besar. Dan ia merupakan sosok paling pemaaf yang pernah dikenalnya.
"Eh, Val. Boleh aku bertanya perihal diarimu?"