"Sebentar Valny keburu datang. Kasihan dia!"
Suasana kelas menghening seperti di kuburan. Valny berdiri di bingkai pintu kelas dengan wajah lesi. Bibirnya kemu. Airmatanya berlinang tanpa terasa. Kerongkongannya perih. Ia sudah mengetahui semua kejadian barusan.
Ia tidak masuk ke dalam kelas. Sedetik diputarnya tumit lalu berlari dengan tubuh gemetar menahan isak. Aretha mengejarnya. Sementara itu Rio tampak linglung. Seperti menyesali perbuatannya yang sedikit keterlaluan.
***
"Dia sudah minta maaf, Val!"
Aretha menyampaikan permintaan maaf Rio, sehari setelah kejadian kemarin. Ia datang langsung ke rumah Valny sehabis pulang sekolah tanpa ke rumahnya sendiri terlebih dulu. Hari ini Valny tidak masuk sekolah dengan surat izin sakit yang ditandatangani Maminya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Tha," desis Valny, duduk memunggung di sandaran tempat tidurnya. Badannya masih diselubung selimut. Dahinya sedikit dititiki keringat. "Aku yang salah, kok. Kenapa juga bawa-bawa diari ke sekolah."
"Tapi, tidak sepantasnya Rio membaca diarimu di depan kelas," urai Aretha, duduk di gigir tempat tidur sembari menghapus keringat Valny dengan tissue.
"Iya, sih. Tapi...."
"Aku sudah mendamprat anak itu habis-habisan lho, Val. Dan dia janji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya itu. Dia tidak akan mengganggu privacy orang lain lagi," ujar Aretha berapi-api. "Lihat, gara-gara perbuatannya itu kamu jadi sakit begini!"
Valny menggeleng pelan. "Tidak. Kebetulan saja aku lagi jatuh sakit. Sebelumnya dalam rapat kemarin, aku sebenarnya sudah tidak enak badan. Cuma flu biasa, kok."