"Tapi, Rio memperparah penyakitmu!"
"Sudahlah, Tha! Buat apa juga diungkit-ungkit. Anggap saja kemarin aku lagi sedang sial. Nah, itu kan lebih baik daripada kamu mengumpat-umpat terus. Sakitku bisa bertambah parah lho Tha, kalau kamu misuh-misuh begitu."
Aretha tersenyum mendengar gurauan Valny.
"Seharusnya aku tidak membawa diari itu ke sekolah," sahut Valny seperti menggumam. "Diari kan merupakan tempat curhat. Mirip underwear yang seharusnya di simpan di tempat yang paling rahasia. Jadi, aku saja yang lalai sehingga diariku kebaca orang lain."
Aretha menggeleng. "Tapi, kamu berhak membawa diari itu ke mana saja, Val. Karena diari merupakan teman yang paling setia, tempat menumpahkan unek-unek dan kekesalan. Kapan saja kamu dapat menuangkan ungkapan hati yang sifatnya paling pribadi sekalipun. Tidak di rumah, tidak di sekolah. Pokoknya, di mana saja."
"Makanya, aku terus membawa diariku itu ke mana-mana, Tha. Karena...." Valny menghentikan kalimatnya. Ia menunduk dengan rupa baur. Ada dua titik airmata yang menggantung di sudut matanya.
"Karena apa, Val?!" tanya Aretha penasaran.
"Karena apa yang aku tulis dalam diari itu merupakan kenangan terakhirku untuk mengenang Papi, Tha!"
"Maksudmu?"
"Sebenarnya dongeng yang ada di dalam diariku itu merupakan karyaku untuk mengaplikasikan wujud Papi dalam kenanganku, Tha. Aku ingat, semasa kecil Papi selalu mendongeng untukku. Setiap hari sebelum aku berangkat tidur, Papilah yang membacakan dongeng-dongeng untukku. Mami waktu itu mengandung Vicky adik laki-lakiku, sehingga dalam kurun waktu setahun praktis tidak pernah menemani aku tidur. Nah, Papilah yang mendapat tugas meninabobokan aku."
"Jadi, mendiang Papimu...."