"Saya tidak mau membohongi perasaan saya!" Ruki menyanggah, berusaha meyakinkan ketulusannya. "Sedari kecil saya sudah diajari untuk berlaku jujur pada diri sendiri. Saya tidak ingin kecewa karena menutup-nutupi perasaan saya. Meski saya cewek, saya tidak ingin bersikap pasif terhadap orang yang saya senangi. Mungkin saya terlalu agresif. Tapi saya tidak peduli."
Sarwana memejamkan matanya. Gadis itu mendesaknya. Negeri Matahari Terbit merupakan obsesinya selama ini! Kini obsesi itu terpentang lebar di hadapannya....
"Bukankah apa yang saya tawarkan merupakan obsesi kamu selama ini?"
"Iya. Tapi bukan begitu caranya!"
"Kamu meragukan kesungguhan niat saya?!"
"Tentu saja tidak. Saya yakin kamu punya kemampuan finansial untuk melakukan niat kamu itu. Saya hargai semua itu. Cuma...."
"Cuma kenapa?"
"Cinta bukan masalah sepele, Ruki. Cinta itu tidak tumbuh sekejap seperti jamur. Tolong bedakan rasa sayang itu dengan emosi...."
"Ta-tapi...."
Sarwana menggeleng. Mendadak dia teringat seorang gadis teman seprofesinya di sebuah travel di Sanur, Kadek Sundriani. Ada serangkaian kalimat bijak yang pernah disampaikan gadis hitam manis itu kepadanya. Yang dijadikannya sebentuk bekal untuk senantiasa berpijak ke jalan yang lurus.
"Profesi kita sangat rentan, Wana. Kalau tidak pandai-pandai jaga diri, maka kapan saja kita dapat terjerumus ke jalan yang salah. Cobalah memilah antara profesionalisme dengan perasaan hati. Kedua-duanya beda. Sangat jauh berbeda!"