Terpenting, dengan segala keterbatasan setelah setahun peristiwa gempa, proses belajar mengajar kembali bergeliat. Indikatornya, pada saat ujian nasional, seluruh siswa yang tercatat telah mengikuti ujian tersebut (BBC, 2019).
Padahal, jika kita lihat langsung ke lapangan, masih banyak siswa belajar di bawah tenda maupun di bawah sekolah semi permanen.
Prinsipnya kegiatan belajar dalam situasi bencana bukan untuk mengejar nilai ujian melainkan juga sebagai salah satu upaya untuk pemulihan psikologi anak. Â
Air Mata Sudah Mengering
Air mata memang sudah mengering. Sejumlah korban bencana nampak beraktivitas di berbagai tempat. Tak terdengar isak tangis. Namun hingga hampir setahun pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi di Palu, Sigi, dan Donggala, luka yang diakibatkannya masih terlihat jelas.
Baru-baru ini, jajaran Kementerian PUPR yang melakukan monitoring di lapangan menyaksikan di kota Palu dan sekitarnya, bahwa kini masih teronggok reruntuhan bangunan di beberapa lokasi.
Di beberapa titik menuju Kabupaten Sigi, nampak tenda-tenda pengungsian, sekolah darurat, dan hunian sementara (huntara) yang dibangun untuk para korban bencana September 2018.
Di kawasan Mpanau, Sigi, nampak huntara yang dibangun pemerintah untuk menampung korban bencana. Huntara-huntara itu berdiri berjejer apik dengan cat putih yang ditutupi atap seng berwarna merah tua.
Huntara-huntara itu menjadi tempat tinggal ratusan warga yang menjadi korban gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi tahun lalu. Mereka, mau tak mau, hidup berbagi dengan sesama korban hingga waktu yang belum ditentukan.
Kementerian PUPR memang bersinergi dengan pihak terkait yang berkomitmen untuk membantu, salah satunya dari Kalla Group membangun 8 huntara, Grup Sarana Multi Instruktur yang membangun 100 huntara dan beberapa perusahaan swasta yang bersedia membantu.
Kondisi huntara di kawasan itu terlihat bagus dan terawat. Lingkungannya asri dan sudah ada sambungan listrik untuk mendukung kehidupan para penghuninya.