Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Setahun Gempa Sulteng, Apa yang Dilakukan Pemerintah?

27 September 2019   13:58 Diperbarui: 27 September 2019   13:56 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dampak kerusakan gempa di Palu. Foto | Dokpri

 Dampak gempa bumi di Palu, Donggala dan Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng)  pada 28 Oktober 2018 lalu masih sulit dilupakan, bahkan menambah kesedihan lagi setelah pada Jumat (27/9/2019) terjadi lagi gempa di Ambon.  

Kita belum tahu persis dampak gempa di Ambon. Namun berdasarkan laporan, jumlah pengungsi yang kebanyakan perempuan dan anak-anak sudah mencapai ribuan.

Kembali pada peristiwa gempa di Sulteng, yang terjadi setahun silam. Kerusakan infrastruktur demikian dahsyat. Pemukiman warga luluh-lantak. Peristiwa ini menelan ribuan korban yang tersebar di seluruh Provinsi Sulteng.

Tsunami yang terjadi beberapa menit setelah gempa besar berkekuatan 7,7 SR mengguncang Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, Kota Palu dan sekitarnya pada pukul 17.02 WIB. Titik pusat gempa itu berada di kedalaman 10 km, tepatnya di 27 km Timur Laut Donggala.

 Dampak gempa bumi dan tsunami di Palu, Sulteng, tercatatan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 3.308 orang, hilang sebanyak 740 orang, dan korban luka sebanyak 2.537 orang.

Jumlah pengungsi di 5 kabupaten/kota tercatat sebanyak 172.999 jiwa tersebar di 400 titik pengungsian. Data kerusakan rumah penduduk sebanyak 100.405 unit, fasilitas kesehatan sebanyak 185 unit, fasilitas pendidikan sebanyak 1.299 unit, dan rumah ibadah sebanyak 692 unit.

Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirimkan tim untuk menghitung berapa kerugian dan kerusakan akibat bencana gempa dan tsunami di Sulteng.

Secara total kerugian dan kerusakan mencapai 18 triliun rupiah (BNPB, 2018). Kerusakan fisik yang ditimbulkan akibat bencana ini begitu besar. Ditambah dengan kerugian non fisik lainnya, seperti lumpuhnya kegiatan perekonomian, dan pelayanan umum yang sempat terganggu.

Lantas, apa yang sudah diperbuat pemerintah? Ya, tidak lain adalah mengambil tindakan cepat.

Catatatan penulis pascagempa, diawali dengan memberlakukan masa tanggap darurat gempa dan tsunami Palu hingga 26 Oktober 2018. Pemulihan dampak bencana diintensifkan, khususnya pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, pelayanan medis, perbaikan infrastruktur dasar, dan normalisasi kehidupan masyarakat.

Lalu berlanjut tanggap transisi darurat pada 24 April 2019. Selanjutnya masa rehabilitasi selama 2 bulan. Selesai masa tanggap darurat, tahapan penanggulangan bencana memasuki masa transisi darurat menuju pemulihan. Dalam masa ini, bantuan terhadap pengungsi terus disalurkan.

Selain itu, diupayakan perbaikan darurat infrastruktur dan fasilitas umum, seperti jalan, jembatan, sekolah, dan lainnya. Masa transisi darurat menuju pemulihan juga disesuaikan dengan kebutuhan. Dihitung pula kebutuhan untuk pemulihan dan pembangunan kembali dengan prinsip will back better and saver.

Kebutuhan tersebut, seluruhnya dituangkan dalam rencana aksi nasional rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Masa rehabilitasi dan rekonstruksi berlangsung selama kurun waktu 2 tahun dan melibatkan berbagai lembaga.

Proses relokasi sampai hunian jadi, antara 1-2 tahun. Karena tak hanya rumah yang dibangun tapi juga mata pencaharian mereka. Rumah-rumah yang dibangun, dirancang tahan gempa. Sambil menunggu, mereka ditempatkan di hunian sementara.

Dan, berkaca dari korban jiwa yang demikian besar, kita masih bisa bersyukur bahwa seluruh rakyat Indonesia mendorong agar warga di Sulteng segera bangkit. Duka tak boleh terus berlangsung. Namun pertolongan harus segera bagi para korban. Kita pun menyaksikan, anak bangsa dari berbagai provinsi sigap mengambil sikap. Aksi nyata berdatangan dari pelosok negeri. Lalu, mereka saling bahu membahu memberi pertolongan.

Bantuan dari Jakarta, organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas), maupun dari balai-balai dalam Kementerian PUPR dikumpulkan di Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XIV -- Palu, kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan Korem setempat. Ada pula yang dibagikan langsung kepada masyarakat.

Sehari setelah kejadian (Sabtu, 29 September 2018) BPJN XIV Palu bergerak aktif membeli bantuan dari Mamuju berupa makanan (biskuit, susu bayi, mie instan), selimut, dan keperluan sehari-hari. Aksi kemanusiaan yang sangat luar biasa.

Setahun sudah peristiwa itu berlalu. Selama itu pula kita menyaksikan jajaran Kemenerian PUPR, dibantu para pemangku kepentingan terkait, berkerja "all out" memperbaiki infrastruktur pascabencana alam di provinsi itu.

Berkaca pada peristiwa itu, peringatan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono patut jadi renungan dan pembelajaran. Kita, yang mendiami dan berada di jalur cincin api, sudah seharusnya memahami bahwa wilayah ini rawan gempa bumi dan tsunami.

Untuk itulah maka masyarakat perlu memahami pentingnya hidup harmonis dengan bencana. Maksudnya, kita harus meminimalisasi setiap potensi bencana yang akan terjadi pada masa depan. Terkait itu, sungguh elok jika kita dapat mematuhi regulasi pemerintah yang mengatur bagaimana sebuah bangunan didirikan.

Contoh, regulasi mengenai Rencana Tata Ruang yang mengatur zona mana yang bisa dan tidak bisa dibangun, serta sejumlah persyaratan teknisnya.

Sesungguhnya, gempa dan tsunami di Sulteng, sudah berulang kali terjadi.Tercatat, beberapa kejadian gempa di Palu, yang mengakibatkan gempa dan tsunami. Diantaranya; gempa tahun 1848, 1938, 1968, 1996, 2000, dan 2018. Yang telah menewaskan ribuan orang, dan merusak ribuan fasilitas publik (PUSGEN, 2018).

Potensi tsunami ini juga telah juga disampaikan pada tahun 2001 oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang melakukan pemetaan seluruh pantai di Indonesia, termasuk pantai teluk Palu (Daryono, 2018).

Berdasarkan dari rangkaian peristiwa itu, BNPB menetapkan Sulteng menjadi salah satu provinsi dengan ancaman risiko bencana yang tinggi. Memiliki multi ancaman, termasuk epidemi dan wabah penyakit, kebakaran hutan dan lahan, gelombang ekstrem dan abrasi, banjir bandang, tanah longsor, dan gempa bumi (BNPB, Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Bencana (JAKSTRA PB).

Sebelum gempa September 2018, penulis memiliki kesan kuat bahwa kota Palu dikelilingi gunung dengan sebagian terbuka menghadap laut. Hotel, perkantoran, pasar modern, sarana pendidikan seperti sekolah hingga rumah ibadah terlihat indah.

Sebagai ibukota, Palu berbatasan dengan Kabupaten Donggala di sebelah barat dan Utara, Kabupaten Sigi di sebelah selatan, dan Kabupaten Parigi Moutong di sebelah timur. Kota Palu merupakan kota lima dimensi yang terdiri atas lembah, lautan, sungai, pegunungan, dan teluk.

Jika ingin mencapai kota lain, ya harus ekstra hati-hati karena jalan raya di provinsi ini tergolong sempit. Ke Poso saja, misalnya, jalan berkelok tajam sangat banyak. Dibanding ke Sumatera Barat, tidak berlebihan bila kelokannya jauh lebih berbahaya. Nah, ketika terjadi gempa, sangat sulit membayangkan betapa dahsyatnya kota tersebut tercabik-cabik.

Sekali lagi, bencana gempa, tsunami dan disusul likuifaksi yang terjadi di Palu dan Donggala, menuai perhatian dan duka mendalam bagi masyarakat Indonesia. Korban meninggal kebanyakan tertimpa reruntuhan bangunan dan diterjang tsunami.

Untuk itu, korban meninggal segera dimakamkan secara layak dan massal. Ini karena pertimbangan kesehatan. Kita pun bersyukur, PT Pertamina ikut mengerahkan karyawannya untuk memasok bahan bakar sehingga pekerjaan ke-PU-an dapat ditangani dengan cepatnya. Petugas medis dari PMI cepat berdatangan, termasuk sejumlah relawan cepat bergerak.

Tercatat Pertamina menerjunkan sekitar 50 personil sebagai tenaga operator ke SPBU di daerah yang terkena dampak bencana gempa. Tindakan ini dilakukan sebagai upaya untuk mempermudah penyaluran bahan bakar untuk mendukung Sulteng bangkit.

Penyediaan Huntara Dikebut

Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Kementerian PUPR di Sulteng Arie Setiadi Moerwanto merasa lega. Pekerjaan rekonstruksi dan rehabilitasi melalui tiga direktorat jenderal (ditjen), yaitu Ditjen Sumber Daya Air, Ditjen Bina Marga, dan Ditjen Cipta Karya selama setahun memperlihatkan hasil menggembirakan.

Salah satunya yang membanggakan itu adalah pembangunan 699 unit hunian sementara (huntara) di 72 lokasi.

Sampai saat ini, dari jumlah tersebut, sudah 629 unit yang dibangun di 69 lokasi. Keseluruhan huntara itu berada di Kota Palu, serta Kabupaten Sigi dan Donggala. PUPR diberi waktu dua tahun untuk menyelesaikannya. Dari 669 unit huntara di 72 lokasi, yang sudah selesai 629 unit di 69 lokasi.

Semuanya ada di tiga kota/kabupaten, yaitu Palu, Sigi, dan Donggala. Detailnya, di Kota Palu sudah dibangun 281 unit di 22 lokasi, perkembangannya 98,17 persen.

Kemudian, di Kabupaten Sigi sebanyak 195 unit di 26 lokasi, dengan progres 95,71 persen. Berikutnya, di Kabupaten Donggala telah dibangun 153 unit di 21 lokasi, kemajuannya 91,55 persen. Sampai saat ini, pembangunan huntara secara keseluruhan di tiga wilayah itu sudah mencapai 95,14 persen.

Huntara merupakan hunian transit pengungsi dari tenda sampai diselesaikannya pembangunan hunian tetap dan relokasi permukiman. Berbiaya pembangunan sekitar Rp 500 juta per unit, satu huntara dilengkapi 4 toilet, 4 kamar mandi, septic tank, tempat mencuci, dan dapur dengan listrik 450 watt di setiap bilik.

Dari 1.200 huntara yang direncanakan, lokasi yang sudah diverifikasi berada di 48 lokasi, yakni 9 lokasi di Donggala, 21 lokasi di Palu, dan 18 lokasi di Sigi.

Sebanyak 506 huntara di antaranya sudah terukur untuk penentuan tata letak (layout) dan 116 unit dalam penyelesaian dengan progres fisik 19,27 persen. Nantinya huntara tersebut dibangun dengan sistem klaster di 5 zona dengan pertimbangan faktor ketersediaan lahan dan keamanan lokasi dari dampak gempa.

Setiap klaster terdiri dari 10 unit huntara (120 bilik) yang tahan gempa, serta akan dibangun pula satu sekolah PAUD dan SD, tempat sampah, ruang terbuka untuk kegiatan warga, dan tempat parkir sepeda motor.

Di sisi Pendidikan, tercacat 1.299 sekolah atau 31 persen dari total sekolah yang ada di Sulteng terdampak bencana ini. Diantaranya 386 sekolah di Kota Palu, 267 sekolah di Kabupaten Sigi, 106 sekolah di Kabupaten Parigi Mountong, serta 540 sekolah di Kabupaten Donggala. Kejadian telah menyebabkan 262.579 siswa dan 17.429 guru terdampak (SEKNAS, 2018).

Bencana ini berdampak langsung kepada anak-anak. Setidaknya ada tiga hal. Pertama, dampak fisik, ada anak yang meninggal dunia, luka-luka, bahkan menjadi cacat. Kedua, dampak pendidikan, anak dan sekolah kehilangan dokumen penting, kualitas pendidikan menurun, anak harus pindah sekolah, bahkan ada anak yang putus sekolah. Ketiga, secara psikologis anak terganggu, apakah dalam tahap yang ringan sampai yang berat.

Hingga kini Kementerian PUPR terus menyelesaikan pembangunan huntara dengan model knockdown berukuran 12 x 26,4 meter persegi, dibagi menjadi 12 bilik, setiap biliknya dapat dihuni oleh satu keluarga. Diupayakan senyaman mungkin dan dapat digunakan dalam jangka waktu satu hingga dua tahun ke depan.

Sebanyak 1.200 unit huntara yang akan dibangun merupakan tahap pertama sambil menunggu perkembangan data pengungsi yang membutuhkan.

Terpenting, dengan segala keterbatasan setelah setahun peristiwa gempa, proses belajar mengajar kembali bergeliat. Indikatornya, pada saat ujian nasional, seluruh siswa yang tercatat telah mengikuti ujian tersebut (BBC, 2019).

Padahal, jika kita lihat langsung ke lapangan, masih banyak siswa belajar di bawah tenda maupun di bawah sekolah semi permanen.

Prinsipnya kegiatan belajar dalam situasi bencana bukan untuk mengejar nilai ujian melainkan juga sebagai salah satu upaya untuk pemulihan psikologi anak.  

Air Mata Sudah Mengering

Air mata memang sudah mengering. Sejumlah korban bencana nampak beraktivitas di berbagai tempat. Tak terdengar isak tangis. Namun hingga hampir setahun pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi di Palu, Sigi, dan Donggala, luka yang diakibatkannya masih terlihat jelas.

Baru-baru ini, jajaran Kementerian PUPR yang melakukan monitoring di lapangan menyaksikan di kota Palu dan sekitarnya, bahwa kini masih teronggok reruntuhan bangunan di beberapa lokasi.

Di beberapa titik menuju Kabupaten Sigi, nampak tenda-tenda pengungsian, sekolah darurat, dan hunian sementara (huntara) yang dibangun untuk para korban bencana September 2018.

Di kawasan Mpanau, Sigi, nampak huntara yang dibangun pemerintah untuk menampung korban bencana. Huntara-huntara itu berdiri berjejer apik dengan cat putih yang ditutupi atap seng berwarna merah tua.

Huntara-huntara itu menjadi tempat tinggal ratusan warga yang menjadi korban gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi tahun lalu. Mereka, mau tak mau, hidup berbagi dengan sesama korban hingga waktu yang belum ditentukan.

Kementerian PUPR memang bersinergi dengan pihak terkait yang berkomitmen untuk membantu, salah satunya dari Kalla Group membangun 8 huntara, Grup Sarana Multi Instruktur yang membangun 100 huntara dan beberapa perusahaan swasta yang bersedia membantu.

Kondisi huntara di kawasan itu terlihat bagus dan terawat. Lingkungannya asri dan sudah ada sambungan listrik untuk mendukung kehidupan para penghuninya.

Sayang, kondisi berbeda terlihat di huntara lainnya yang dibangun oleh instansi lain.

Hunian Tetap

Harapan warga di hunian sementra untuk pindah mendekati kenyataan lantaran lokasi rumahnya berada di zona merah. Pasalnya, Pemerintah telah meminta masyarakat yang dulunya tinggal di zona merah atau kawasan rawan gempa di Palu, Donggala, dan Sigi untuk tidak kembali ke kawasan itu.

Agar warga yang bermukim di zona merah tak kembali, pemerintah kini tengah mengupayakan pembangunan hunian tetap (huntap) di tiga lokasi dan beberapa hunian satelit. Huntap yang sedang dibangun berada di Kelurahan Tondo, Duyu, Pombewe, dan huntap satelit yang menyebar di berbagai wilayah.

Huntap yang akan dibangun mencapai 11.788 unit. Dalam membangun huntap, sejauh ini, pemerintah telah mendapat bantuan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

Yayasan itu membantu membangun 3.000 rumah, sehingga pemerintah tinggal membangun 8.778 huntap sisanya.

"[Pembangunan huntap] Dibagi dalam tiga tahap. Ini yang pertama langsung dimulai di sini [Pombewe]. Pembangunan oleh Kementerian PUPR harus dilelang dulu, sudah mulai lelang dan lebih kurang 2 bulan lagi. Tapi ini land clearing, air minum dan sebagainya, semuanya sudah," kata Kepala Satgas Rehabilitasi dan Rekonstruksi Palu, Sigi, dan Donggala Arie Setiadi Murwanto, kepada awak media, Senin (1/7).

Huntap yang akan dibangun memiliki struktur bangunan tahan gempa. Sejumlah hunian bahkan dibangun menggunakan campuran semen dan kertas yang dipadatkan dan diklaim tahan api.

Saat ini, sejumlah huntap di daerah Tondo, Palu telah dibangun. Huntap di Tondo dibangun dengan teknologi bernama Ridha, yang merupakan akronim dari Rumah Instan dan Hunian Aman.

Dari wilayah pembangunan huntap di Tondo, terlihat jelas Teluk Palu di sisi barat. Di sisi berlawanan, membentang kawasan perbukitan.

Nantinya, di Tondo akan berdiri 4.878 huntap. Sebanyak 1.500 huntap di antaranya dibangun Yayasan Buddha Tzu Chi, sedangkan sisanya disediakan Kementerian PUPR.

Adapun di wilayah Pombewe, huntap akan dibangun di dekat kampus IAIN Sigi. Di sana, rencananya akan ada 3.000 hunian--separuhnya bakal dibangun oleh Yayasan Buddha Tzu Chi--yang tersebar di lahan seluas 104 hektare (ha).

"Kementerian PUPR fasilitasi semuanya, mulai dari land clearing sampai kavling dan sebagainya, air bersih, sanitasinya disediakan pemerintah," jelas Direktur Jenderal (Dirjen) Cipta Karya Kementerian PUPR, Danis Hidayat Sumadilaga.

Pembangunan huntap, selain dilakukan di tiga lokasi, juga berjalan di daerah-daerah terpisah. Hunian yang dibangun di daerah-daerah terpisah disebut huntap satelit.

Kenapa huntap satelit?

Karena lokasi bencana di Sulteng ini tersebar dan masyarakat berada di banyak tempat memiliki mata pencaharian bertani dan nelayan. Luas huntap satelit hanya 2,5 - 5 ha dengan rumah maksimal 100 unit di satu daerah, ungkap Arie Setiadi Murwanto.

Namun, ketidakpastian terkait siapa yang akan mendapatkan huntap masih membayangi. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil mengungkapkan Pemerintah Daerah (Pemda) ternyata belum memiliki data final calon penghuni huntap.

"Datanya itu bergerak. Oleh karena itu, perintah Pak Menko Polhukam, 2 pekan ke depan datanya harus sudah final. Sehingga, tidak bergerak lagi," tegasnya usai rapat koordinasi perkembangan tahap Rehab-Rekon di Palu, Senin (1/7).

Tak kalah penting yang saat ini menjadi fokus Ditjen Cipta Karya adalah perbaikan dan peningkatan sistem penyediaan air minum serta pengolahan air limbah di Palu, Sigi, dan semua lokasi hunian tetap (huntap).

Upaya lainnya yaitu rehabilitasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Anutapura, RSUD Undata, dan RSUD Madani di Palu, RSUD Torabelo di Sigi, serta perbaikan bangunan kampus, prasarana pendidikan, puskesmas, dan pasar.

Terkait biaya, semua baru pengajuan. Pihak Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Kementerian PUPR di Sulteng sedang mengoptimalkan dan merasionalkan pengajuan dana tersebut.

Sulteng kini memperingati setahun terjadinya peristiwa gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi. Pertanyaannya, akankah pengharapan warga mendiami hunian tetap dapat terwujud?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun