Mohon tunggu...
Dwi Eka Adhariani
Dwi Eka Adhariani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Universitas PTIQ

Pendidikan Anak Usia Dini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prospek dan Tantangan Pendidikan Islam pada Era Digital

14 November 2024   08:21 Diperbarui: 14 November 2024   08:21 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada penghujung tahun 2024, dampak perubahan memasuki fase era digital semakin terasa, seperti lahirnya kecerdasan buatan AI (Artificial Intelligence) yang semakin populer penggunaannya di masyarakat dan tentunya berpengaruh pada sistem pendidikan Islam

Pasca dicabutnya status pandemi pada pertengahan tahun 2023 tidak serta merta pola kehidupan sehari-hari kembali pada era sebelumnya, namun justru berubah menjadi era baru. Masyarakat benar-benar memanfaatkan teknologi digital hampir dalam semua aspek kehidupan dan mengambil sisi positif era Pandemi Covid-19.

Menilik ke belakang, terkait kebijakan pendidikan, lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri No.01/KB 2020, Nomor 516 Tahun 2020, Nomor HK.03.01/Menkes/363/2020, Nomor 440-882 Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan tahun akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) adalah respon cepat atas polemik yang terjadi selama masa pembelajaran daring. Indikasi ada masalah yang serius yang ditimbulkan.

Ada kecemasan atau ketakutan dari banyak kalangan khususnya para pakar dan praktisi pendidikan, jika kondisi pembelajaran selama pandemi tidak diatasi segera dan dicari terobosan baru, akan ada dampak negatif bagi generasi bangsa, terlebih pemerintah sudah melakukan langkah serius dalam penanganan covid-19 seperti melakukan tindakan vaksin kepada perangkat pendidikan, agar pembelajaran tatap muka bisa segera terlaksana pada Juli 2021.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas 2003) disebutkan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 Undang-undang tersebut dibuat sebagai revisi atas undang-undang sebelumnya dengan tujuan agar sistem pendidikan nasional menjadi lebih baik dibanding dengan yang sudah ada sebelumnya.

Dalam undang-undang tersebut juga dapat dilihat bagaimana posisi agama (pendidikan agama ) dari pelbagai pasal diterangkan bahwa pendidikan agama sebagai sumber nilai dan bagian dari pendidikan nasional. Juga disebutkan pendidikan agama mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia dan kepribadian muslim (khusus agama Islam). 

Secara umum dapat di simpulkan bahwa pendidikan agama mempunyai posisi yang sangat penting dalam pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menfokuskan diri dalam membentuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.


Fakta Pendidikan Islam di Indonesia

Menurut Muhaimin dalam bukunya Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Pendidikan Islam secara terminologi sederhananya dapat kita pahami, sebagai berikut:

1. Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan Islami, adalah pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya: Al-Qur’an dan Al-Hadis.

2. Pendidikan (dalam masyarakat) Islam, adalah pendidikan atau praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam, dalam arti proses bertumbuh kembangnya Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran, maupun sistem budaya dan peradaban sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang.

3. Pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidik agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life.

Dalam konteks tulisan ini, penulis mencoba memberikan sedikit ulasan tentang Pendidikan Islam dalam terminologi pemahaman yang kedua (dengan pembatasan lingkup ulasan di Indonesia) untuk memberikan deskripsi/gambaran menurut persepsi penulis seputar fakta-fakta Pendidikan Islam di Indonesia.


Pendidikan Islam Era Sebelum Reformasi (1967 – 1998)

Pemerintah memberlakukan pendidikan agama dari tingkat SD hingga Universitas (TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1960), madrasah mendapat perlakuan dan status yang sejajar dengan sekolah umum. Pemerintah juga pada akhirnya memberi izin pada pelajar muslimah untuk memakai rok panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah negeri sebagai ganti seragam sekolah yang biasanya rok pendek dan kepala terbuka, meskipun dalam prakteknya tetap terjadi pelarangan.

Kemudian SKB 2 Menteri dijiwai oleh TAP MPR No.II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan adanya kebutuhan bidang bersama antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.

Berikutnya Surat Ketetapan Bersama (SKB) 3 Menteri P&K No.299/U/1984 dengan Menteri Agama No.45 tahun 1984, tentang pengaturan pembakuan kurikulum madrasah yang isinya antara lain adalah mengizinkan lulusan madrasah untuk melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi.

Jenis-jenis pendidikan Islam Orde Baru adalah sebagai berikut:

1. Pesantren klasik, seperti sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama, yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah.

2. Madrasah diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun.

3. Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang bersamaan dengan pengajaran agama juga diberikan pelajaran-pelajaran umum.

4. Madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) yaitu sekolah dasar negeri enam tahun, di mana perbadingannya kira-kira 1:2.

5. Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama 2 tahun, yang memberikan latihan keterampilan sederhana.

6. Pendidikan teologi agama tertinggi. Pada tingkatan universitas diberikan sejak tahun 1960 pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua bagian/dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta.

Pendidikan Islam Era Reformasi (1998)

Pendidikan Islam Era Reformasi menfokuskan pendidikan agama Islam lebih diperhatikan dan disamakan kedudukannya dengan pendidikan umum. Sebagai buktinya adalah dengan diberlakukannya UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang mengatur berbagai bidang pendidikan, salah satunya adalah bidang pendidikan agama Islam.

Adapun kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menyempurnakan sistem pendidikan Islam sebagai berikut:

1. Mendirikan sekolah-sekolah Agama Islam mulai dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi (MDI/MI, MTs, MA, PTIN, PTAIS atau Al-Jamiah).

2. Membantu meningkatkan mutu pendidikan pondok pesantren dengan usaha memberikan bimbingan ke arah penyempurnaan kurikulum, sarana pendidikan, bantuan/subsidi guru, perpustakaan, keterampilan teknologi dan sebagainya.

3. Program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memiliki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di naungan Kementrian Pendidikan Nasional, melainkan juga anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementrian Pendidikan Agama.

Kebijakan sertifikasi bagi semua guru dan dosen baik negeri maupun swasta, baik umum maupun agama, baik guru yang berada dibawah naungan Kementrian Agama. Program ini terkait erat dengan peningkatan mutu tenaga guru dan dosen sebagai tenaga pengajar yang professional. Pengembangan kurikulum berbasis kompentensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum tingkat satuan tingkat pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai mata pelajaran (subject matter) sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum juga dituntut memiliki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan tersebut, seperti membaaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data, mendiskusikan, memecahkan masalah dan menganalisis.

Berkaitan dengan hal ini, maka di zaman reformasi ini telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi:

1. Standar Isi (Kurikulum)

2. Standar mutu pendidikan

3. Standar proses pendidikan

4. Standar pendidikan dan tenaga pendidik

5. Standar pengelolaan

6. Standar pembiayaan

7. Standar penilaiain

Undang-Undang yang Pro Pendidikan Islam

Dari sekian banyak undang-undang pendidikan yang telah muncul di Indonesia, maka UU No. 20 tahun 2003 yang memberikan perhatian lebih banyak terhadap pendidikan Islam. Di dalam aturan tersebut setidaknya ada tiga hal yang terkait dengan Pendidikan Islam :

1. Kelembagaan Formal, non formal dan informal, di dudukannya Lembaga Madrasah sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Sekolah. Dan dipertegas pula tentang kedudukannya sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam, selanjutnya majlis taklim sebagai pendidikan non formal dan masukan Raudatul Atfal sebagai lembaga pendidikan keagamaan.

2. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran dikokohkannya mata pelajaran agama sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan.

3. Pendidikan Islam sebagai nilai, terdapat seperangkat nilai-nilai Islami yang terkandung dalam sistem pendidikan nasional.

Kebijakan Pendidikan Islam 

Dalam UU No.20 Tahun 2003 (UU Tentang SISDINAS), kebijakan pendidikan agama Islam dalam UU No.23 tahun 2003 dapat dilaksanakan dalam 3 jalur yakni:

a. Jalur Pendidikan formal

1. Lembaga pendidikan sekolah

2. Lembaga pendidikan madrasah

3. Lembaga pendidikan madrasah diniyah

4. Lembaga pendidikan pesantren

5. Lembaga pendidikan tinggi

b. Jalur Pendidikan Non Formal

c. Jalur Pendidikan Informal

 

Pendidikan Islam di Era Digital 

Peluang dan Tantangan

Dalam buku Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Husni Rahim berpendapat bahwa secara eksternal masa depan pendidikan Islam dipengaruhi oleh tiga isu besar, yaitu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisme Islam. Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, Syahrin Harahap mencoba mengkategorikan ciri-ciri pergaulan global, yaitu:

Pertama, terjadi pergeseran. Pergeseran yang dimaksud adalah pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi dan informasi; pergeseran dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah keseimbangan kepentingan (balance of interest).

Kedua, hubungan antara negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan (dependency) ke arah saling tergantung (interdependency); hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada posisi tawar (bargaining position).

Ketiga, batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya karena ditentukan oleh kemampuan memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage).

Keempat, persaingan antarnegara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Demikian juga terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi tidak efisien.

Dampak dalam konteks pendidikan pun tak kalah menarik untuk dicermati, munculnya pemalsuan ijazah, tradisi nyontek dikalangan siswa/mahasiswa, plagiasi karya tulis, makalah, skripsi, tesis, dan disertasi. Globalisasi akan memesatkan pengkomersilan pendidikan itu sendiri. Kelompok pengusaha pendidikan akan mengaut keuntungan melalui bidang pendidikan. Hal ini sangat disangsikan jika berketerusan tanpa kontrol dan pendidikan bisa terkorbankan.

Dampak lainnya adalah penghayatan ilmu itu semakin terkikis, karena para pelajar hanya belajar Ilmu saja tanpa menghayatinya. Belajar hanya untuk tujuan mendapat nilai ujian atau demi memenuhi tugas yang diberikan. Hal ini akan melahirkan generasi yang cerdik pandai tanpa diimbangi dengan penghayatan ilmu itu sendiri. Akibatnya, kemahiran yang mereka miliki mungkin akan digunakan untuk tujuan negatif seperti menipu dan sebagainya.

Selain itu, digitalisasi juga menumbuhkan gabungan ikatan primordial dengan sistem politik modern yang melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme. Frustasi eksistensial (existential frustation) juga menggejala yang dicirikan dengan hasrat yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), mengumpulkan uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work), dan kenikmatan seksual (the will to sex).

Tantangan utama digitalisasi yang lain yang harus segera disikapi oleh pendidikan Islam yaitu:

Era Pandemi Covid-19

Dunia terhentak dengan munculnya virus Covid-19 di Wuhan, China, pada akhir Desember 2019, yang mampu meruntuhkan seluruh sektor di dunia, mematikan ekonomi, kebiasaan, termasuk dalam pendidikan Islam. Era pandemi mengharuskan warga negara di belahan dunia menerapkan kebiasaan baru, setiap manusia harus jaga jarak dengan lainnya dan meninggalkan proses belajar mengajar dengan cara tatap muka, termasuk di Indonesia.  

Tidak semua jenjang pendidikan siap dengan pola pendidikan daring, sebut saja sektor Pendidikan Anak Usia Dini dan Sekolah Dasar. Perlu upaya khusus dan dukungan multipihak agar proses belajar mengajar tetap terlaksana, dan dari hasil evaluasi dan pengamatan proses kegiatan belajar mengajar selama pandemi berlangsung, banyak kalangan mengeluh baik dari tenaga pendidik maupun orang tua siswa dan umumnya tidak menggembirakan.

Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pendidikan Islam saat ini sedang ditantang konstribusinya terhadap pembentukan peradaban dan budaya modern yang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Dimensi ini, pendidikan Islam mengalami kemunduran fungsi (degradasi fungsional) karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada aspek moral spiritual.

Terdapat banyak pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan Islam tidak terlalu fokus memprioritaskan aspek yang bersifat praktis dan pragmatis, seperti penguasaan teknologi. Akibatnya, pendidikan Islam tidak mampu bersaing pada level kebudayaan di tingkat global. 

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam memandang perkembangan Iptek sebagai tantangan yang harus dihadapi dan dikuasai, sehingga generasi muslim tidak tertinggal oleh kebudayaan yang berkembang. Konteks ini ada dua hal yang penting untuk dipikirkan, yaitu (1) bagaimana supaya perkembangan Iptek tidak terlepas dari nilai-nilai ajaran Islam; (2) bagaimana pendidikan Islam dapat berkonstribusi bagi kemajuan Iptek di masa depan.

Demokratisasi

Demokratisasi, mempengaruhi dunia pendidikan Islam Indonesia. Tuntutan demokratisasi pada awalnya ditujukan pada sistem politik negara sebagai antitesa terhadap sistem politik yang otoriter. Selanjutnya perkembangan tuntutan ini mengarah kepada sistem pengelolaan berbagai bidang termasuk bidang pendidikan.

Demokratisasi pendidikan Islam menghendaki sistem pendidikan yang bersifat sentralistik, seragam, dan dependen, untuk beralih mengembangkan sistem pendidikan yang lebih otonom, beragam dan independen. Dalam prakteknya, demokrasi yang berkembang selama 20 tahun terakhir sudah kehilangan orientasi, berbiaya tinggi dan tingkat pergantian puncuk pimpinan yang cepat, berpengaruh kepada perubahan kebijakan yang cepat pula, sehingga cukup mengganggu berjalannya sistem pendidikan Islam.

Bidang Budaya

Bidang budaya terjadi perkembangan yang luar biasa cepatnya, terutama dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan Islam yang menganjurkan silaturahmi face to face terpatahkan oleh menjamurnya media jejaring sosial seperti facebook, twitter dan instagram. Kalangan anak-anak dan remaja, terjangkit candu game online, lebih miris lagi, berkembang praktik cyberporn (pornografi lewat jaringan komputer).

Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif digitalisasi, tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial, budaya, dan ekonomi.

Berdasarkan fenomena tersebut, jelas tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan dalam segala bentuk dan sistem baik bersifat personal maupun global bisa terjadi dalam hitungan waktu yang relatif sangat singkat. Hal ini merupakan sebuah tantangan yang mutlak dijawab oleh pendidikan Islam dengan tujuan dan cita-citanya yang luhur, walaupun pada dasarnya Islam sebagai sebuah sistem telah memberikan wacana tentang perubahan yang memang harus terjadi demi mencapai tujuan hidup manusia yang dijadikan landasan tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-Ra’d/13: 11:

“…sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri …”.

Berdasarkan ayat tersebut, Islam menganjurkan adanya perubahan yang positif dalam keadaan apapun sehingga mengarah pada kemajuan dan perbaikan. Pemahaman yang demikian perlu ditumbuh kembangkan pada cara berfikir peserta didik sebagai generasi kedepan. Memperluas wawasan dan membentuk sikap yang toleran terhadap berbagai perubahan dengan tanpa kehilangan pegangan dan pendirian, sebab perubahan yang terjadi merupakan sunnatullah.

Menghadapi tantangan digitalisasi seperti yang dikemukakan di atas, pendidikan Islam perlu melakukan langkah-langkah strategis dengan membenahi beberapa persoalan internal. Persoalan internal yang dimaksud adalah: (1) persoalan dikotomi pendidikan; (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam; (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain. Berikut penjelasannya :

1. Menyelesaikan persoalan dikotomi

Persoalan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum melahirkan dualisme pendidikan, yaitu pendidikan Islam dan pendidikan umum. Dikotomi dan dualisme merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Seiring dengan itu berbagai istilah pun muncul untuk membenarkan pandangan dikotomis tersebut. Misalnya, adanya fakultas umum dan fakultas agama, sekolah umum dan sekolah agama. Dikotomi itu menghasilkan kesan bahwa pendidikan agama berjalan tanpa dukungan Iptek, dan sebaliknya pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama. Ahmad Syafi'i Ma'arif mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil diselesaikan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Pendidikan Islam melebur secara integratif dengan pendidikan umum.

Peleburan bukan hanya dalam bentuk satu departemen saja, tetapi lebur berdasarkan kesamaan rumusan filosofis dan pijakan epistemologisnya. Upaya intergrasi keilmuan di Indonesia dapat dilihat dengan perubahan kelembagaan perguruan tinggi Islam dari insitut menjadi universitas, pada level madrasah dan pondok pesantren upaya ini diwujudkan dengan memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulum.

2. Revitalisasi tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam

Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendesain ulang tujuan dan fungsinya. Berikut beberapa model pendidikan Islam di Indonesia:

a.  Pendidikan Islam mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-mujtahid yang mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman.

b.  Pendidikan Islam yang mengintegrasikan kurikulum dan materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berpikir secara komprehensif, contohnya madrasah.

c.  Pendidikan Islam meniru model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, contohnya sekolah Islam Terpadu.

d. Pendidikan Islam menolak produk pendidikan Barat. Hal ini berarti harus mendesain model pendidikan yang betul-betul orisinil dari konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia.

e. Pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah saja, tetapi dilaksanakan di luar sekolah. Artinya, pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat.

3.  Reformasi kurikulum atau materi pendidikan Islam. Secara garis besar diarahkan pada dua dimensi, yakni:

  • Dimensi vertikal berupa ajaran ketaatan kepada Allah SWT dengan segala bentuk artikulasinya.
  • Dimensi horizontal berupa pengembangan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya.
  • Dimensi yang kedua ini dilakukan dengan mengembangkan materi pendidikan yang berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun pendidikan Islam yang bermutu di tengah kehidupan modern yang kompetitif. Ketiga hal tersebut masih membutuhkan unsur lain sebagai pendukung, seperti sumber daya kependidikan yang berkualitas, pendanaan yang memadai, dan lingkungan sosial yang kondusif. Berdasarkan uraian di atas, menurut hemat penulis sepertinya pendidikan Islam berada pada suatu posisi penting sehingga dapat berperan aktif di era global.

Namun hal tersebut harus dilandasi beberapa syarat yang dapat menjadikan lebih eksisnya pendidikan Islam di era digitalisasi dan gencarnya pertumbuhan teknologi informasi yang ada. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain:

Pertama, pendidikan Islam harus ikut serta sebagai pendukung keberadaan era ini, dengan berusaha memanfaatkan segala informasi yang berkembang dan berperan dalam menanggulangi segala dampak negatif yang di timbulkan.

Kedua, pendidikan Islam seyogyanya selalu berusaha memanfaatkan sumber daya elektronika yang telah menjadi media utama transformasi informasi. Mengembangkannya dengan berbagai bentuk informasi positif yang dapat menjadi bahan pelajaran dan materi ajar yang diperlukan, seperti pengembangan E-learning, E- book, tafsir digital dan lain sebagainya.

Ketiga, Pendidikan Islam harus turut serta dalam perkembangan teknologi dunia seperti penelitian, uji coba dan pemakaian vaksin yang sampai sekarang masih saja ada masyarakat yang pro dan kontra. Jika pemahaman umat Islam terhadap dunia medis dapat dijelaskan dengan mudah sesuai kaidah ajaran Islam, maka persoalan ini akan segera tuntas.

Kesimpulan

Era Digital diidentikkan dengan mendunia. Apapun yang terjadi di penjuru dunia begitu cepat menyebar di seluruh pelosok baik berupa data, temuan-temuan, bencana, peristiwa. Penduduk dunia bisa mengetahui semua itu melalui berbagai media seperti Smart Phone, televisi, radio, bahkan sekarang era media sosial, di mana sebagian besar manusia sudah menggunakan sebagai perangkat komunikasi yang berbasis dari internet.

 Bahkan, proses perpindahan manusia pun demikian cepat, penyebaran covid-19 berlangsung sangat cepat, dalam hitungan bulan sudah menyebar di seluruh dunia. Dampaknya berpengaruh kepada sendi kehidupan berbangsa, termasuk berpengaruh pada sistem pendidikan Islam.

Pendidikan Islam menyasar kepada manusia seutuhnya, berupa akal dan keterampilan dengan tujuan menyiapkan manusia untuk menjalani hidup dengan lebih baik dan bermanfaat bagi sesamanya. Namun hal itu tidak berjalan dengan mulus, karena pendidikan Islam dipengaruhi oleh arus globalisasi yang terjadi saat ini. Globalisasi merupakan ancaman besar bagi pendidikan Islam untuk mempertahankan nilai-nilai yang murni.

Orientasi pendidikan Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah dengan potensi bawaan seperti potensi ilahiyah, potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, dan potensi fisik. Potensi tersebut manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik.

Upaya membangun pendidikan Islam berwawasan digital bukan persoalan mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan, menamkan nilai- nilai ajaran Islam dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan karakter berbasis lokal. 

Upaya untuk membangun pendidikan Islam yang berwawasan global dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah yang terencana dan strategis dengan menangkap peluang dan bersiaga mengahadapi tantangan.

Tantangan digitalisasi bagi pendidikan Islam yaitu masalah kualitas. adalah era persaingan bebas, maka akan terjadi pertukaran antar negara baik resmi maupun tidak. Pertukaran manusia, barang, jasa, teknologi dan lain-lain, untuk itu perlu dibentuk manusia yang unggul jadi kualitas SDM sangat penting untuk menentukan kualitas lembaga pendidikan, negara dan agama. 

Adapun peluang pendidikan Islam adalah perkembangan yang begitu cepat di berbagai bidang inilah, pendidikan Islam bisa berpeluang besar untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cepat pula.


DAFTAR PUSTAKA

Arstine, Donald. Philosophy of Education, New York: Harper and Row, 1976.

Brown, T. Challenging Globalization as Discourse and Phenomenon, International Journal of Lifelong Education, 1995.

Danim, Sudarman. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Fadjar, A. Malik (ed). Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Harahap, Syahrin. Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, Cet. I, Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998.

ILO, A Fair Globalization: Creating Opportunities for All, Geneva: International Labour Office, 2004.

Indra, Hasbi. Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Cet. II, Jakarta: Rida Mulia, 2005.

Joni, T. Raka. Memicu Perbaikan Melalui Kurikulum Dalam Kerangka Pikir Desentralisasi. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Cet. III, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Lampiran SKB 4 Menteri”, dalam www.lldikti13.kemdikbud.go.id/. Diakses pada 10 April 2021.

Ma'arif, Ahmad Syafi'i. “Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa, ed., Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

Muchsin, Bashori dan Wahid, Abdul. Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.

Nata, Abudin. Manajemen Pendidikan Dalam Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Bogor: Kencana, 2003.

Putuhena, M. Saleh A. “Kearah Rekonstruksi Sains Islam,” dalam Norman Said dkk, ed. Sinergi Agama dan Sains: Ikhtiar Membangun Pusat Peradaban Islam. Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2005.

Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Cet. I, Jakarta: Kencana, 2004.

Tilaar, H.A.R. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan. Cet. IX, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008.

Tim Penyusun Pengantar Studi Islam. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia, 1998.

Zainuddin, M. dan Esha, Muhammad In’am. Horison Baru Pengembangan Pendidikan Islam; Upaya Merespon Dinamika Masyarakat global. Cet. I, Yogyakarta: Aditya Media, 2004.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun