Tidak ada lampu penerangan di desa Semoyo. Padahal jarak dengan Jalan Patuk ke Wonosari tidak jauh hanya sekitar 3 sampai 4 kilometer. Desa pelosok yang penduduk mudanya hampir semuanya merantau. Yang ada hanya anak-anak. Laki dan perempuan setengah baya yang masih rajin bertahan, namun sangat sedikit anak muda tampak di hari-hari biasa. Suasana lengang diiringi suara jengkerik dan burung-burung tekukur. Saat hujan jalan setapak licin, di kanan kiri jalan setapak tampak batu-batu berongga yang diselingi tanah-tanah merah. Lebih banyak  batu-batu kapur.
Sehari-hari orang-orang di sana hidup dari berladang singkong dan ubi, mengandalkan air tadah hujan.  Hanya ada satu mata air di desa Semoyo. Tempatnya di lembah,  Air  langka di bebukitan batu kapur. harus turun menyusuri bukit terjal, menuju lembah yang banyak tumbuh pohon pisang dan kayu-kayu jati. Saat kemarau air benar-benar susah.
Parjo pemimpin proyek KKN di desa Semoyo. Ia sudah survey untuk memantau apa saja yang perlu dilakukan untuk desa tertinggal yang tidak ada listrik sama sekali, padahal beberapa kilo jaraknya dekat dengan puncak bukit Piyungan Patuk ada menara relay RCTI.
Setelah beberapa kali rapat, Parjo mengusulkan untuk mencari dana guna membeli kabel listrik kurang lebih 2000 meter. Bukan jumlah yang sedikit, perlu membuat proposal guna diedarkan di perusahaan perusahaan sekitar Yogyakarta untuk menambah dana proyek listrikisasi.
Mengapa belum dialiri listrik? jalan terjal berbatu  dan desa yang susah dilewati kendaraan bermotor yang membuat desa Semoyo belum merasakan aliran listrik. Pertama datang dan menginap di salah satu penduduknya kami hanya berteman semprong atau penerangan dari minyak tanah dikasih sumbu kompor. Lampu kecil sebutlah namanya teplok atau lampu semprong. Pak Mardi berbaik hati untuk menyalakan lampu petromak setiap malam, sehingga ketika kami rapat kecil penerangan di ruang tamu cukup terang.
Malam, ketika lampu petromak mati, suasana benar-benar sunyi seperti desa tanpa penghuni, sesekali terdengar suara burung hantu, dan suara jengkerik malam. Kalau mau pipis. Teman satu rombongan minta anter keluar, terutama anggota kelompok KKN yang perempuan. Jauh-jauh hari kami sudah menyiapkan lampu senter untuk aktivitas malam hari.
Jalan setapak kecil benar-benar menyulitkan kami untuk jalan malam, kami perlu rombongan untuk bisa bepergian. Banyak teman kami yang berasal dari kota benar-benar kaget, tidak menyangka akan tinggal di dusun terpencil tanpa  listrik.
Suasana malam yang mencekam membuat apapun bunyi yang muncul di malam hari membuat jantung dag-dig-dug. Benarkah ada hantu di sekitar sini. Dulu kami sering mendengar ada banyak penduduk bunuh diri karena kesepian. Mereka menggantung diri di plafon rumah. Cerita tentang orang yang bunuh diri di seputar Gunung Kidul sudah tidak asing lagi. Mengapa bunuh diri karena mereka tidak tahan merasakan kesepian hidup sendiri di kampung. Anak-anak muda jarang yang mau hidup di desa, mereka lebih suka merantau, mencari pekerjaan di kota.
Anak muda jarang ada yang mau bertani, mereka yang cukup terpelajar dan kuliah akan mencari pekerjaan di kota besar, kalau pulang biasanya hanya pas lebaran atau cuti akhir pekan. Terkadang beberapa hari menginap di dusun Semoyo seperti tinggal di dekat kuburan, sunyi dengan suasana gelap. Jarak antar rumah satu dengan lainnya jauh. Saking takutnya banyak rekan perempuan yang sering menjerit melihat sekelebatan daun pisang yang terkena senter, mereka sudah membayangkan suasana horor. Seperti melihat kuntilanak atau peri atau perempuan berambut panjang dengan baju putih.
Padahal kalau dilihat secara seksama hanyalah daun pisang melambai terayun oleh angin semilir malam hari.
"Parjo, kamu jangan terlalu jauh dari kami. "Begitu pinta Puji dan Rini yang sepanjang jalan tampak ketakutan melihat sekeliling dusun yang gelap."
"Mengapa sih, rapat kok malam-malam, kenapa nggak siang saja." Puji protes.
"Ya karena penduduk sini dari pagi sampai sore banyak di ladang sehingga mereka hanya bisa dikumpulkan malam hari." jawab Parjo.
'Danang, kamu jangan sinis gitu melihat kami yang ketakutan, ya maklum, tempat asal bukan dari desa seperti ini jadi ya gimana gitu."
"Kamu takut ketemu hantu?"
"Ih, kenapa malah dijelaskan Oon, sudah tahu kami takut han..."
Tiba tiba baterey senter Parjo benar-benar tidak bisa dinyalakan.
"Duh, kenapa batereynya mati ya..."
Saya tidak  tahu reaksi Rini dan Puji, namun tiba-tiba ada tangan yang mencengkeram kuat, pergelangan tangan saya. Bulu kuduk langsung berdiri suasana benar-benar kacau. Rini, menjerit, Puji langsung saja memegang tangan Parjo erat-erat.
Terdengar suara burung hantu yang berada persis di atas kami, cekukuk kuk... dan brakkkk
Suara keras pohon tumbang ada di dekat kami.
Suasana benar-benar menyeramkan, seperti film-film horor yang saya lihat di bioskop Empire Jalan Solo.
"Nggak. Nggak usah datang rapat di Balai desa ya.... ttttakut."
"Kita tetap harus datang, mumpung masih dekat rumah pak Mardi, kita balik dulu, pinjam oncor"
"Kamu saja yang datang ya, Jo."
Rini benar-benar gemetar, kalau bisa melihat wajahnya pasti sudah pucat pasi..
Puji malah pingsan. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
"Oke kita antar Puji balik ke rumah, sembari membuat oncor buat penerangan di jalan."
Kami memutuskan balik ke rumah pondokan tempat kami selama 3 bulan tinggal. Di rumah Pak Mardi yang mempunyai 3 anak yang masih kecil-kecil, ditambah istri yang sedang hamil tua, mungkin sebulan lagi akan melahirkan.
 Akhirnya rapat hanya diwakili oleh, Saya, Parjo, dan Danang. Rini menemani Puji yang baru saja siuman.
Oncor menemani  kami bertiga menembus kegelapan malam.Kami  berangkat lagi ke dusun sebelah yang jaraknya kurang lebih satu kilo. Dengan jalan setapak, jalanan berkelok-kelok, kami hampir tersesat di hutan jati  sebelah Selatan  gunung Grigak. Gunung batu yang banyak tumbuh pohon kerdil.
 Satu menit kemudian kami sampai di Balai Desa Semoyo. Kami sudah ditunggu oleh Pak Lurah, Pak Carik dan beberapa perangkat desa. Kami jelaskan kenapa terlambat sampai Balai Desa karena ada insiden teman kami yang pingsan, tetapi kami tidak menceritakan bahwa Puji pingsan karena ketakutan.
"Tidak apa-apa adik-adik. Kami maklum. Jalan belum  diperbaiki dan tidak ada penerangan jalan yang membuat dusun tempat kita tinggal benar-benar terisolir."
Pada rapat dengan kepala desa dan perangkatnya serta sejumlah warga kami menjelaskan program kami terutama program penerangan berupa penyaluran listrik dari desa Semoyo, kebutuhan kabel cukup panjang.
Yang masih dipikirkan adalah kami harus memastikan jalan pintas bagi kabel yang akan dihubungkan dengan kabel aliran terdekat. Sebab jika jalan memintas kami perlu melewati lembah, bukit dan beberapa aliran sungai yang kebetulan sedang mengering. Mengenai dananya Parjo rupanya sudah mendapatkan sponsor. Minggu depan sudah bisa dicairkan untuk dibelikan kabel listrik.Â
Setelah rapat kami pulang ke dusun Putat sakah satu desa yang masuk desa semoyo. Oncor kami nyalakan dan bertiga berjalan beriringan menyusur jalan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi pohon pisang, singkong dan kayu jati. Â Melewati perdu bambu, Â suasana semakin seram karena sebentar-sebentar terdengar suara burung hantu.
Di perdu bambu itu, Â angin bertiup kencang. Oncor yang dibawa Parjo tiba-tiba meredup tertiup angin kencang dan di detik selanjutnya oncorpun mati. Kebetulan kami bertiga tidak ada yang membawa korek api, jadilah gelap gulitabulir bulir keringat dingin mengalir deras, jantung benar-benar mau copot, angin yang bergemuruh itu seakan-akan suara raungan dan tertawa terkikik dari sosok putih yang tiba tiba melintas, Â Suasananya benar-benar runyam dan mencekam.
Ada perasaan aneh dikuduk, seperti ada yang meraba dan menggerayangi, mencekik, sementara di sisi belakang seperti muncul bau aneh, campuran bau melati dan bunga sedap malam.  Bulu kuduk semakin  merinding, lengkingan suara tertawa perempuan sangat keras masuk kegendang telinga. Dalam kegelapan muncul  saking takutnya sosok putih berkelebat itu kembali muncul. Bau semerbak melati dan sedap malam, menyergap hidung.
Saya tidak tahu Danang di mana, Parjo di mana, suasana sangat gelap membuat kami menyelamatkan diri sendiri. Tanpa penerangan kami lari hingga akhirnya hanya kegelapan yang terasa.
**
Saya tergeletak di tepi tebing, terasa perih dan pegal badan ini. Matahari muncul dari balik pohon jati, di depan muncul pemandangan bagus dengan bukit dan deretan pegunungan batu dan beberapa pohon perdu yang menggelantung di tebing gunung kapur. Hawa udara sangat segar. Sayangnya badan dan beberapa bagian tubuh memar serta berdarah. Baju batik yang saya kenakan robek dekat lengan, celana, robek beberapa bagian.
"Siapa yang mau menolong ?"
 Sampai matahari beranjak naik, belum ada seorangpun lewat di tepi tebing. Saya tersangkut di rumpun pohon, masih untung tersangkut coba kalau terjun bebas di dasar jurang, pasti hari-hari  berikutnya tinggal jadi berita, Mahasiswa KKN tewas di Jurang Gunung Grigak, Desa Semoyo Gunung Kidul. Sekitar 15 Kilo meter dari Piyungan Bantul Yogyakarta.
Saya nekat berteriak minta tolong.
"Tolongggg!"
Suara bergema dan memantul dari bukit ke bukit.
Di saat itu rasa frustasi menghantui pikiran, jika tidak ada yang mengetahui keberadaan saya jangan-jangan nanti hanya akan dijadikan santapan makanan binatang buas. Tapi benarkah masih ada binatang buas. Ini gunung purba bukan gunung aktif dan subur seperti Merapi dan Merbabu. Desa yang belum tersentuh listrik dan banyak pemudanya menjadi perantau. Diam-diam saya menangis, ingat Ibu, ingat ayah dan ingat adik. Tetesan air mata membuat semakin perih luka di seputar pipi. Perut mulai berontak, rasa lapar menjalar dan membuat kerongkongan mengering.
Akhirnya ketika matahari persis seperti di atas kepala, saya ditemukan oleh penduduk sekitar. Mereka menggendong saya dan dibawa ke mantri kesehatan untuk diobati beberapa luka yang ada di pangkal lengan, lutut dan dipergelangan kaki.
"Apakah saya terluka sendiri Pak di sini?"
"Ada satu lagi teman anda kami temukan tertidur di perdu bambu, rupanya ia pingsan karena kepalanya terbentur batang bambu yang jatuh.
Menurut beberapa penuturan penduduk setempat, orang baru yang menginap di sekitar daerah itu harus minta ijin bila melewati beberapa tempat yang dianggap angker, kalau tidak bisa muncul musibah, apalagi bila melakukan tindakan seperti merusak alam atau mengambil benda tanpa minta ijin terlebih dahulu, atau berbuat zina.
Konon di setiap tempat selalu ada penunggunya. Tempat tempat seperti rumpun bambu, pohon beringin tua, jati tua dan pohon randu dipercaya menjadi tempat nyaman bagi jin dan roh halus, serta mahluk dari dimensi lain.
Di Pulau Jawa kepercayaan animisme dan dinamisme masih kuat, maka masyarakat perlu menyelaraskan dengan alam semesta. Pohon, batu, gua, rumah tua juga bagian dari alam semesta yang perlu dilindungi dan beri sesaji agar mereka bisa menjadi teman bagi kehidupan manusia. Danyang, asisten Dewi Sri. Tempat mata air, air terjun sering dijadikan tempat untuk bertapa atau meditasi dari orang-orang sakti yang selalu mencari sangkan paraning dumadi.
Sayang  para pelajar dan intelektual saat ini kurang memahami bahasa alam, gagap memahami tanda-tanda dan lebih mengedepankan logika, mengabaikan harmoni alam yang menyebabkan semesta semakin rusak. Sementara relasi manusia dan alam semesta semakin menjauh. Bumi semakin panas dan nafsu manusia merusak dan menguasai alam semakin tidak terbendung.
Saya melewati masa KKN awal dengan penuh warna, hal yang tidak ditemui di kampus bisa ditemukan di tempat KKN termasuk ilmu kearifan lokal. Bagaimana membangun sinergi, hubungan relasi dengan alam sekitar. Mereka juga ciptaan Tuhan yang harus dilindungi dilestarikan dijaga agar tidak punah karena kepongahan manusia.
oncor: alat penerangan tradisional terbuat dari batang babmbu apus kecil, dan diisi dengan miyak tanah. Lalu ditutup dengan sumbu yang terbuat dari kain bekas atau gombal.
(Saya mengikuti program KKN sudah lama sekitar tahun 1996 an di Desa Semoyo. Pertama kali masuk belum ada listrik  dan desanya cukup terjal dengan alam yang dipenuhi batu kapur. Saya tidak ingat apakah desa itu sudah berubah, di cerita ini saya berfantasi dengan tema fiksi horor, tetapi tempatnya mirip seperti yang saya ceritakan di cerpen ini) Di lokasi ini ketika listrik sudah nyala ada peristiwa besar yang membuat saya ingat yaitu meninggalnya Bu Tien Soharto tanggal 28 April 1996. Hampir setiap  hari radio menyiarkan berita tentang meninggalnya istri dari presiden kedua RI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H