"Oh itu? Cambuk itu saya sediakan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, saya akan menanyakan apakah masakannya cocok atau tidak? Kalau dia mengatakan cocok maka tidak akan terjadi apa-apa. Tapi kalau suami saya bilang tidak cocok maka cambuk itu akan saya berikan padanya agar punggung saya dicambuknya. Karena saya tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya."
"Apakah itu kehendak suamimu?' tanya Fatimah keheranan.
"Oh, bukan! Suami saya adalah orang yang penuh kasih sayang. Ini semua adalah kehendak saya sendiri, jangan sampai saya menjadi istri yang durhaka kepada suami."
"Lalu, kipas dan handuk kecil itu untuk apa?" tanya Fatimah kembali.
Muti'ah pun tersenyum malu. Setelah didesak Fatimah, dia pun kemudian bercerita.
"Engkau tahu Fatimah, suami saya seorang pekerja keras yang memeras keringat setiap hari. Saya sangat sayang dan hormat kepadanya. Begitu ia pulang kerja, cepat-cepat saya sambut kedatangannya dengan senyuman. Kemudian saya membuka bajunya dan mengelap keringatnya dengan handuk kecil itu hingga keringatnya kering. Jika dia berbaring di tikar ini untuk melepas lelah, saya kipasi dia dengan kipas itu hingga lelahnya hilang atau hingga dia tertidur pulas."
Mendengar penjelasan Muti'ah, Fatimah menggeleng-gelengkan kepala. Pantas saja kalau Muti'ah kelak akan menjadi seorang wanita yang pertama masuk surga. Dia sangat berbakti kepada suaminya.
Farah sangat menghayati kisah tersebut. Dia pun teringat kejadian beberapa waktu yang lalu.
"Dek, aku mau bicara!"
"Aku amati, kau semakin dekat saja dengan ustadz Abbas." kata suami Farah.
"Tidak, Mas. Aku biasa saja dengan beliau."