Dengan menyesal Muti'ah kembali menolak Fatimah dan kedua anaknya masuk. Hari itu, Fatimah gagal lagi bertamu ke rumah Muti'ah.
Keesokan harinya, Fatimah dan kedua anaknya kembali lagi ke rumah Muti'ah. Mereka disambut baik oleh Muti'ah karena ketiganya sudah mendapat izin dari suami Muti'ah.
Keadaan rumah Muti'ah sangat sederhana. Tak ada satu pun perabotan mewah dirumahnya. Namun, semuanya tertata rapi. Tempat tidur yang beralaskan tikar juga terlihat bersih. Rumahnya berbau harum dan segar, membuat Fatimah dan anak-anaknya betah bertamu disana.
Fatimah sangat kagum melihat suasana yang menyenangkan di dalam rumah Muti'ah. Hasan dan Husain yang biasanya tidak betah berada di rumah orang lain, kali ini tampak asyik bermain di sana.
"Maaf ya Fatimah, saya tidak bisa menemanimu duduk di ruang tamu karena saya harus menyiapkan makanan buat suami saya," kata Muti'ah sambil mondar mandir dari ruang tamu ke dapur.
Mendekati tengah hari, masakan sudah siap semua. Muti'ah mengambil cambuk, kipas dan handuk kecil kemudian diletakkannya di atas meja makan.
"Suamimu bekerja di mana?" tanya Fatimah.
"Di ladang."
"Seorang penggembalakah?" tanya Fatimah lagi.
"Bukan, suamiku bercocok tanam."
"Tapi, mengapa kau sediakan cambuk?"