Mohon tunggu...
Dwi Isnaini
Dwi Isnaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mompreneur yang menyukai dunia tulis menulis

Owner CV Rizki Barokah perusahaan dalam bidang makanan ringan. Penulis buku "Karakter Ayah Pebisnis untuk Sang Anak Gadis"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekeping Hidayah dari Kisah Muti'ah

18 Desember 2021   06:48 Diperbarui: 18 Desember 2021   06:54 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: infoyunik.com

Di sepertiga malam terakhir, Farah masih sesenggukan di atas sajadah. Semalam dia membaca kisah tentang wanita pertama yang masuk surga. Hal itu membuatnya merenung sangat lama.

Suatu ketika Fatimah ra. bertanya kepada Rasulullah saw. "Ya Rasulullah, siapakah wanita yang pertama kali masuk surga selain Ummul Mukminin?"

Kepada Fatimah, Rasulullah mengatakan, "Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui wanita pertama yang masuk surga selain Ummul Mukminin, dia adalah Ummu Muti'ah. Seorang wanita mulia yang tinggal di pinggiran kota Madinah."

Fatimah pun merasa penasaran. Siapa gerangan Ummu Muti'ah itu? Dan amalan apa yang dilakukannya sehingga ia mendapat kehormatan yang begitu tinggi?

Setelah meminta izin pada suaminya, Ali bin Abi Thalib, Fatimah berangkat menuju kediaman Muti'ah. Diajaknya Hasan, putranya yang masih kecil.

Setelah tiba di rumah Muti'ah, Fatimah mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Siapa di luar?" Terdengar suara yang lembut dari dalam rumah.

"Saya Fatimah, Putri Rasulullah."

"Alhamdulillah, betapa bahagianya saya hari ini. Fatimah putri Rasulullah sudi berkunjung ke gubuk saya. Ada keperluan apa, Fatimah?"

"Saya hendak bersilaturakhim saja," jawab Fatimah.

Dari dalam rumah, Muti'ah kembali bertanya. "Kau sendirian, Fatimah?"

"Aku ditemani Hasan," jawab Fatimah.

"Aduh, maaf ya, Fatimah. Saya tidak bisa membukakan pintu untukmu. Saya belum minta izin suami saya untuk menerima tamu laki-laki."

"Tapi, Hasan kan masih kecil, Muti'ah!" Fatimah menyahut.

"Meskipun masih kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Besok saja kau datang lagi, ya? Saya akan minta izin dulu kepada suami saya," kata Muti'ah dengan perasaan tidak enak.

Fatimah pun pamit dan kembali pulang.

Esoknya Fatimah datang kembali ke rumah Muti'ah. Kali ini dia ditemani oleh Hasan dan Husain putranya yang masih kanak-kanak.

Setelah menjawab salam mereka bertiga, dari dalam rumah Muti'ah bertanya. "Kau masih ditemani Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin."

"Saya datang bersama Hasan dan Husain," jawab Fatimah.

"Hah? Kenapa kemarin tidak bilang kalau mau datang bersama Husain juga? Yang sudah mendapat izin masuk rumah itu Hasan, Husain belum. Maaf, saya tidak bisa mempersilakan kalian masuk."

Dengan menyesal Muti'ah kembali menolak Fatimah dan kedua anaknya masuk. Hari itu, Fatimah gagal lagi bertamu ke rumah Muti'ah.

Keesokan harinya, Fatimah dan kedua anaknya kembali lagi ke rumah Muti'ah. Mereka disambut baik oleh Muti'ah karena ketiganya sudah mendapat izin dari suami Muti'ah.

Keadaan rumah Muti'ah sangat sederhana. Tak ada satu pun perabotan mewah dirumahnya. Namun, semuanya tertata rapi. Tempat tidur yang beralaskan tikar juga terlihat bersih. Rumahnya berbau harum dan segar, membuat Fatimah dan anak-anaknya betah bertamu disana.

Fatimah sangat kagum melihat suasana yang menyenangkan di dalam rumah Muti'ah. Hasan dan Husain yang biasanya tidak betah berada di rumah orang lain, kali ini tampak asyik bermain di sana.

"Maaf ya Fatimah, saya tidak bisa menemanimu duduk di ruang tamu karena saya harus menyiapkan makanan buat suami saya," kata Muti'ah sambil mondar mandir dari ruang tamu ke dapur.

Mendekati tengah hari, masakan sudah siap semua. Muti'ah mengambil cambuk, kipas dan handuk kecil kemudian diletakkannya di atas meja makan.

"Suamimu bekerja di mana?" tanya Fatimah.

"Di ladang."

"Seorang penggembalakah?" tanya Fatimah lagi.

"Bukan, suamiku bercocok tanam."

"Tapi, mengapa kau sediakan cambuk?"

"Oh itu? Cambuk itu saya sediakan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, saya akan menanyakan apakah masakannya cocok atau tidak? Kalau dia mengatakan cocok maka tidak akan terjadi apa-apa. Tapi kalau suami saya bilang tidak cocok maka cambuk itu akan saya berikan padanya agar punggung saya dicambuknya. Karena saya tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya."

"Apakah itu kehendak suamimu?' tanya Fatimah keheranan.

"Oh, bukan! Suami saya adalah orang yang penuh kasih sayang. Ini semua adalah kehendak saya sendiri, jangan sampai saya menjadi istri yang durhaka kepada suami."

"Lalu, kipas dan handuk kecil itu untuk apa?" tanya Fatimah kembali.

Muti'ah pun tersenyum malu. Setelah didesak Fatimah, dia pun kemudian bercerita.

"Engkau tahu Fatimah, suami saya seorang pekerja keras yang memeras keringat setiap hari. Saya sangat sayang dan hormat kepadanya. Begitu ia pulang kerja, cepat-cepat saya sambut kedatangannya dengan senyuman. Kemudian saya membuka bajunya dan mengelap keringatnya dengan handuk kecil itu hingga keringatnya kering. Jika dia berbaring di tikar ini untuk melepas lelah, saya kipasi dia dengan kipas itu hingga lelahnya hilang atau hingga dia tertidur pulas."

Mendengar penjelasan Muti'ah, Fatimah menggeleng-gelengkan kepala. Pantas saja kalau Muti'ah kelak akan menjadi seorang wanita yang pertama masuk surga. Dia sangat berbakti kepada suaminya.

Farah sangat menghayati kisah tersebut. Dia pun teringat kejadian beberapa waktu yang lalu.

"Dek, aku mau bicara!"

"Aku amati, kau semakin dekat saja dengan ustadz Abbas." kata suami Farah.

"Tidak, Mas. Aku biasa saja dengan beliau."

"Kulihat kalian semakin intens berkomunikasi lewat WA."

"Kami hanya membahas masalah kajian, Mas. Kau tahu beliau adalah penceramah di masjid kampung dan aku panitia pengajian disana bersama ibu-ibu yang lain."

"Apa aku berhenti saja jadi panitia, Mas. Kalau kau cemburu."

"Tidak usah dek, mungkin aku yang salah." ujar suami Farah.

Sudah 6 bulan ustadz Abbas menjadi penceramah di masjid kampung Farah. Memang tidak dapat dipungkiri, setelah beberapa bulan berinteraksi dalam suatu pengajian, benih-benih cinta itu mulai bersemi. Farah pun mulai ada rasa dengan ustadz muda lulusan Mesir itu. Dan tampaknya Farah tak bertepuk sebelah tangan. Ustadz Abbas juga memberikan perhatian yang agak berlebihan kepada Farah daripada pada ibu-ibu panitia yang lain.

Setelah menyelesaikan doanya, Farah bersimpuh di hadapan suaminya. Sambil menangis dia meminta maaf pada suaminya. Ia mengaku bersalah dan akan memperbaiki semuanya. Dia berjanji untuk lebih menjaga hati suaminya. Dia ingin seperti Muti'ah, istri shalihat yang taat dan selalu mengharap ridho suaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun