Mohon tunggu...
Durrotun Fatihah
Durrotun Fatihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Book Review "Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Sunni)

14 Maret 2023   23:16 Diperbarui: 14 Maret 2023   23:31 1955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JUDUL                       : Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni)

PENULIS                   : Dr. H.A. Sukris Sarmadi, S.Ag.MH

PENERBIT                 : Aswaja Pressindo

TAHUN TERBIT       : 2013

Buku yang berjudul "Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni)" karya Dr. H.A. Sukris Sarmadi, S.Ag.MH adalah buku yang menyajikan tentang hukum Waris Islam di Indonesia dan perkembangannya. Kemudian di dalamnya terdapat beberapa bab terkait hukum kewarisan Islam di Indonesia, pembagian waris, serta wasiat dan hibah. Yang kesemuanya itu merujuk terhadap Kompilasi Hukum Islam bagian Kewarisan yang masih banyak dikemas dalam keyakinan atas hukum/fiqih klasik sunni.

Lahirnya hukum waris Islam bersamaan dengan penetapan Tuhan pada wahyunya (Al-Qur'an) sebagai dasar pembagian waris yang dikenal dengan istilah al-farid. Istilah kewarisan berasal dari bahasa arab dengan bentuk masdar al-irts dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Maknanya adalah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka. Fiqh klasik sering menyebut istilah hukum kewarisan atau segala yang berkaitan dengan hukum kewarisan menyebutnya dengan hukum farid jamak dari lafaz "faridah" dengan makna ``mafrudah`` yang bila diterjemahkan adalah bahagian-bahagian yang telah ditentukan. Istilah terakhir ini menjadi makna syar'iyah di kalangan yuris Islam klasik. Terkadang para yuris Islam menamainya untuk bahasan itu adalah dengan sebutan fiqh mawaris dalam bentuk jamaknya adalah mirats artinya harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya.

Istilah "faraid" menunjuk pengertiaan adanya ketentuan yang setiap orang yang menjadi ahli waris, dengan maksud sesuai apa yang telah ditetapkan dalam wahyu Allah sebagai dokumen suci atau norma hukum. Kemudian melaksanakannya dianggap melaksanakan perintah ketaatan agama, seperti dalam H.R Muslim yang artinya "Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Al Munkadir dia berkata, aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjengukku ketika aku sakit tak sadarkan diri, lalu beliau berwudlu dan memercikkan air wudlunya kepadaku, sehingga aku pun sadar. Kemudian aku berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana aku mewariskan harta peninggalan? Maka turunlah ayat tentang warisan." Aku (Syu'bah) bertanya kepada Muhammad bin Munkadir, "Apakah (yang turun) Yastaftuunaka Qulillah Yuftiikum Fil Kalaalah (Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah) '? (Q.S. An-Nis:176). Dia menjawab, "Seperti inilah ayat ini diturunkan." Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami An-Nadlr bin Syumail dan Abu Amir Al 'Aqadi. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutsanna telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jarir semuanya dari Syu'bah dengan isnad ini dalam haditsnya Wahb bin Jarir, disebutkan, 'lalu turunkah ayat faraidl (pembagian harta warisan).' Sedangkan dalam hadits An-Nadlr dan Al 'Aqadi, disebutkan, 'Lalu turunlah ayat fardl.' Dan dalam riwayat mereka berdua (tidak disebutkan) perkataan Syu'bah kepada Ibnu Munkadir".

Dalam hadis lain, Rasulullah saw menganjurkan untuk mempelajari ilmu Faraid (hukum waris Islam) sebagai bagian dari pengajaran agama Islam. Ketentuan besaran bagian bagi ahli waris pun telah disebutkan secara rinci di dalam Al-Qur'an, yaitu dalam Q.S. al-Nis ayat 7, 11, 12, 33 dan 176. dimana dalam ayat-ayat tersebut memunculkan pemahaman produk dalam hukum waris Islam seperti sebutan ashabu al-furud, 'asobah, dzawu al-furud, dzawul al-arham, furud al-muqaddarah yang secara sistematik mudah untuk dipahami. dengan demikian memahami hukum waris Islam (ilmu faraid) sesungguhnya tidak lain mempelajari maksud-maksud ayat Al-Qur'an tentang kewarisan.

Hukum Waris Islam merupakan bagian dari hukum keluarga dalam hukum Islam (bbu al-fiqh al farid). Sebagaimana pada ranah kajian hukum keperdataan di Indonesia, hukum waris dikaitkan dengan hukum keluarga. Dengan kata lain, hukum waris Islam masuk bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Pada masa Pemerintahan VOC sendiri pernah memerintahkan kepada D.W. Freijer untuk menyusun Conpendium yang memuat hukum Perkawinan Islam dan Kewarisan Islam dengan diperbaiki dan disempurnakan oleh tokoh yuris Islam masa itu. Kitab hukum tersebut secara resmi diterima oleh pemerintah VOC tahun 1706 dan dipergunakan oleh Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah kekuasaan VOC. Kitab tersebut dikenal dengan Compendium Freijer. Sebagai hukum materil menyangkut Perdata Islam yaitu Civiele Wetten der Mohammeddaansche dan telah mendapatkan legalitas pemberlakuannya secara positif melalui Resolutie der Indische Regeering (VOC) tanggal 25 Mei 1760.

            Berdasar alasan dengan pengakuan hukum Islam di zaman Belanda berakibat lahirnya teori Receptio in complexu bahwa hukum Islam berlaku di Indonesia bagi pemeluk Islam yang dijadikan standard politik hukum Belanda. Namun saat itu terjadi pencabukan kewenangan Pengadilan Agama atas masalah kewarisan, kewenangan tersebut diserahkan kepada Pengadilan Umum dengan pertimbangan bahwa hukum waris Islam belum menjadi hukum adat. Dan selama masa pencabutan kewenangan tersebut, umat Islam di Indonesia menyelesaikan sengketa waris hanya bersifat adat dalam sistem masyarakat Islam atau dengan cara harus ke pengadilan umum yang sesungguhnya tidak dipercaya mampu menyelesaikan sengketa kewarisan Islam bagi umat Islam. Kemudian sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 2006, semua sengketa waris, perwakafan, hibah, harta bersama perkawinan maupun yang terkait dengan ekonomi syariah, Pengadilan Agama dapat memutusnya secara keseluruhan.

            Sementara, dalam masyarakat adat selain hukum waris Islam, dikenal pula pembagian kewarisan secara adat. Sebagai berikut:

  • Sistem kewarisan individual, bercirikan adanya pembagian harta kepada orang-orang yang berhak baik dalam sistem pembagian patrilinial misalnya masyarakat di tanah Batak, matrilinial ataupun bilateral pada masyarakat jawa umumnya. Konsekuensinya ketika hukum waris Islam diterapkan akan berakibat sejumlah orang menjadi tertutup kemungkinan untuk memperoleh hak waris atau sejumlah keuntungan pembagian menjadi berkurang.
  • Sistem kewarisan kolektif yang bercirikan harta yang tak dibagi-bagi di antara sekumpulan ahli waris kecuali untuk dimanfaatkan secara produktif terutama terhadap mereka yang lebih memerlukannya seperti masyarakat matrilineal di Minangkabau. Konsekuensinya, sikap kekerabatan di antara mereka sejak lama telah terpupuk dan bisa jadi, ketika hukum Islam diterapkan, mereka sebagai pemeluk agama Islam akan melaksanakannya dengan membuka kemungkinan perdamaian pembagian harta warisan, jika ini yang mereka sepakati, situasi tertentu seperti harta waris yang dianggap sedikit atau karena dianggap kurang produktif adalah situasi yang akan mendukung terjadinya perdamaian pembagian (Ishlah).
  • Sistem kewarisan mayorat yang bercirikan anak tertualah yang menguasai seluruh atau pokok harta pewaris setelah meninggalnya seperti masyarakat patriliial beralih-alih di Bali. Konsekuensinya, hak mereka akibatnya dikurangkan. Hukum adat ini memungkinkan orang tua tertentu sebelum meninggalnya ada kemungkinan menghibahkan sebagian hartanya kepada anak tertua dimana unsur kekerabatan amat dekat dengan anak tertua yang sejak lama didukung oleh kebiasaan hukum adat sebelum hukum Islam diterapkan. Sebenarnya bisa pula terjadi bagi masyarakat yang sebelum menerapkan sistem kewarisan individual patrilinial, matrilinial ataupun bilateral karena pada dasarnya hukum waris Islam walaupun belakangan secara teoritis disebut dengan sistem kewarisan individual bilateral, tetap merupakan sistem baru yang berbeda dengan sistem kewarisan individual bilateral dalam kewarisan adat karena substansi tujuan keadilan tetap berbeda.

Di samping itu selain kewarisan adat dan hukum Islam, di Indonesia berlaku pula hukum waris perdata peninggalan kolonial Belanda yang termaktub dalam B.W atau KUHPerdata. Penyelesaian sengketa waris bagi umat Islam diselesaikan di Pengadilan Agama sedang bagi orang yang non-muslim maka penyelesaiannya di Pengadilan Umum, baik yang menghendaki penyelesaian secara hukum adat (di luar hukum Islam) maupun yang menundukkan diri pada KUHPerdata.

Ruang lingkup kewarisan serta segala istilah terhadapnya disebutkan dalam Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

a. Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing;

b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meniggal berdasarkan keputusan Pengadilan Agama Islam meninggalkan ahli waris dan harta penginggalan;

c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris;

d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya;

e. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat;

f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain tanpa lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meningal dunia;

g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki;

h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan;

i. Baitul Mal adalah Balai harta Keagamaan.

Pasal 171 huruf (a) KHI menegaskan fungsi atau tujuan dari diadakannya hukum warisan. Dengan maksud pengaturan tersebut yaitu telah terjabarnya hak-hak keperdataan mengenai harta yang berupa hak menerima harta dari orang tertentu itu ditimbulkan karena adanya hubungan khusus antara dirinya sebagai penerima hak dengan orang yang memiliki harta tersebut. Dalam hukum kewarisan Islam, hubungan tersebut dapat berupa hubungan nasab, hubungan karena sepersusuan dan hubungan sebab perkawinan. Dalam pasal ini, istilah tirkah yang dalam fiqh dipahami dengan harta peninggalan pewaris sebelum dikeluarkan untuk biaya penyelenggaraan jenazah, biaya pelunasan hutang ketika ia masih hidup dan pembayaran wasiat.

Pasal 171 huruf (d) menegaskan mengenai tirkah, yaitu istilah harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Hanya saja dalam ketentuan pasal-pasal KHI tidak dijelaskan, manakah yang harus didahulukan antara pembayaran hutang ataukah pembayaran wasiat pewaris jika harta peninggalan tidak mencukupi untuk pembayaran keduanya kecuali salah satunya. Walaupun pada akhirnya, dengan adanya konfirmasi pasal lain dalam KHI sebagaimana yang tersebut dalam pala 175 ayat (1) secara umum dapat dipahami kemungkinan untuk memprioritaskan pengeluaran biaya penyelenggaraan jenazah (tajhiz), kemudian utang, wasiat dan pembagian harta waris jika ada, sebagaimana akan dijelaskan.

Dalam khazanah pemikiran klasik, biaya penyelenggaraan jenazah harus dikeluarkan terlebih dahulu. Para ulama faradiyun sepakat bahwa pengeluaran biaya dimaksud haruslah didahulukan dari pembayaran hutang dan wasiatnya kepada orang lain. Alasan yang sangat mendasar dalam konteks ini adalah karena masalah tajhiz merupakan kebutuhan yang sangat mendesak (dharuri) sedangkan pelaksanaannya sendiri dihukumkan fardhu kifayah. Selanjutnya untuk memperoleh jawaban keseluruhan dimaksud dapatlah dikembangkan pemahaman terhadap pasal 175 ayat (1) bahwa kewajiban ahli waris terhadap pewaris, sebagai berikut:

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;

b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perwatan termasuk kewajiban pewaris maupun penagih hutang;

c. Menyelesaikan wasiat pewaris;

d. Membagi harta warisan di antara ahli yang berhak.

Kemudian pasal 171 huruf (b) menegaskan mengenai masalah definisi pewaris sebagai orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan di mana pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan Agama Islam, meningalkan ahli waris dan harta peninggalan. Ketentuan seperti ini tidak berbeda dengan ketentuan yang dirincikan dalam fiqh Islam selama ini. Apa yang dimaksud dengan meninggal di mata hukum adalah meninggalnya dapat dibuktikan secara hukum. Ia dapat dipersaksikan dan tidak disangsikan akan kematiannya. Sebaliknya, meninggal karena adanya pernyataan berdasarkan Putusan Pengadilan Agama adalah meningalnya secara hukmi yakni adanya persangkaan yang kuat setelah diteliti keberadaannya oleh pihak Pengadilan Agama.

Penetapan tentang ahli waris dimaksud dari Pengadilan Agama adalah berdasarkan adanya hubungan hukum (Islam) yakni hubungan darah/nasab (genetik), hubungan sepersusuan dan perkawinan sebagaimana yang dipahami terhadap pasa 171 huruf (c) dan apa yang dijabarkan pasal 174 KHI.

Pasal 171 huruf (d) mengenai harta peninggalan tidak lain adalah tirkah dalam istilah fiqh Islam yakni segala harta benda ataupun hak-hak kebendaan lainnya sebelum dikeluarkan biaya perawatan sakit sampai meninggalnya, biaya tajhiz, pembayaran utang dan wasiat. Harta yang tersisa dari pengeluaran tersebut adalah harta waris, baik berupa harta bawaan (pemberian orang lain kepada mayit selagi hidupnya atau harta waris dari orang yang mempunyai hubungan hukum dengan dirinya), ataupun dari harta bersama sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 171 huruf (e). Harta bersama dalam konteks ini adalah separoh harta suami/istri jika salah satunya masih hidup, atau setelah dibagi dua di antara suami-istri. Harta bersama di sini dapat dipahami secara umum sebagai harta campuran suami istri, kecuali harta bawaan mereka masing-masing selama tidak dibuat perjanjian khusus untuk menjadikannya sebagai harta bersama.

Selanjutnya, serangkaian perincian masalah kewarisan tidak pula mengenyampingkan masalah wasiat pewaris. Dengan kata lain masalah wasiat haruslah didahulukan sebelum terjadinya pembagian harta warisan kepada para ahli waris. Pasal 171 huruf (f) menjelaskan secara khusus bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Dengan kata lain wasiat terjadi selagi pewaris masih hidup untuk memberikan harta pribadinya kepada orang lain atau lembaga tertentu dengan pernyataan tegas dari pewaris bahwa ia maksudkan adalah wasiat. Seperti ia mengatakan, "Saya berikan kepada kamu (atau menyebut seseorang/lembaga) dengan jalan wasiat seperenam harta saya." Dipersksikan oleh dua orang saksi sebagaimana dirincikan Pasal 194-209 KHI. Memperhatikan demikian, wasiat berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Berbeda dengan hibah yang diberikan selagi ia masih hidup berupa harta untuk dimiliki sebagaimana maksud pasal 171 huruf (g) dan dirincikan dalam pasal 210-213 KHI.

Pasal 171 huruf (h), menjelaskan tentang anak angkat. Dalam hukum Islam selama ini, anak angkat dianggap tidak berhak memproleh harta warisan dari orang tua angkatnya maupun sebaliknya. Sebagaimana yang diterangkan pada pasal 171 huruf (h) bahwa anak angkat adalah anak yang dipelihara dan dibiayai hidupnya maupun pendidikannya dimana segala keperluan hidupnya telah beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkat. Walaupun demikian, hukum waris Islam sebagaimana yang terlihat dalam pasal 209 KHI telah memberi jalan hubungannya dengan masalah kewarisan agar anak angkat memperoleh harta peninggalan dari orang tua angkatnya maupun sebaliknya melewati wasiat wajibah sebagaimana akan dijelaskan secara khusus.

Selanjutnya mengenai ahli waris. Dalam hukum waris Islam menetapkan para ahli waris diklasifikasikan menjadi 3, yakni karena hubungan darah (nasabiyah), karena hubungan perkawinan (sababiyah) dan perwalian. Namun untuk hubungan perwalian itu sudah tidak berlaku karena tidak ada lagi perbudakan, karena perwalian yang dimaksud adalah orang yang memerdekakan budak. Ahli waris Nasabiyah (kekerabatan hubungan darah) terbagi menjadi 3 kategori yaitu hubungan furu'iyah (lurus ke bawah) yaitu anak turun pewaris, ushuliyah (hubungan lurus ke atas) yaitu bapak/ibu pewaris dan hawasyiah (menyamping) yakni para saudara pewaris. Sedangkan sababiyah (sebab perkawinan) adalah suami atau istri.

Dalam pasal 174 KHI disebutkan:

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

  • Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki saudara laki-laki, paman dan kakek
  • Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.

2. Apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Pada dasarnya aturan hukum yang ada pada KHI pada umumnya tidak jauh berbeda dengan fiqh Islam sunni. Dalam praktiknya di Pengadilan Agama, kewarisan Islam yang diberlakukan dalam menyelesaikan sengketa kewarisan masih mengacu pada ketentuan waris yang selama ini dipahami dalam kewarisan dengan beberapa langkah penyelesaian, sebagai berikut:

  • Tetap mengacu pada hukum waris fiqh Islam sunni sebagai dasar penetapan pada KHI atau secara bersamaan ditetapkan terhadapnya.
  • Memberlakukan wasiat wajibah sebagai tambahan yang tidak ada dalam fiqh Islam sunni.
  • Memberlakukan konsep ahli waris pengganti yang didasarkan pada permintaan pihak pemohon atau penggugat.

Klasifikasi tentang ahli waris pada Pasal 174 KHI walaupun singkat, sebenarnya tidak berbeda dengan fiqh Islam sunni dimana masih memprioritaskan garis kelelakian.

Tabel klasifikasi Furud al-muqaddarah (jumlah bagian penerima waris)

Kemudian pasal 175 KHI menyebutkan:

1. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;

b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun penagih;

c. Menyelesaikan wasiat pewaris;

d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

2. Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalan

Pada pasal 175 ayat (2) tersebut dimaksudkan para ahli waris hanya membayarkan sebanyak harta yang ditinggalkan mayit. Apabila harta dimaksud belum mencukupi, sedang hak tertentu dari mayit ada pada orang lain, maka para ahli waris berkewajiban untuk menagih piutang tersebut demi untuk mencukupi hutang mayit kepada orang lain.

Pada hal ini juga yang menjadi alasan bahwa utang tidak dapat dituntut terhadap seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya jika harta mayit tidak ada atau tidak mencukupi, sekalipun para ahli warisnya telah memiliki harta yang mencukupi. Hanya saja, tidak dipersalahkan jika para ahli waris membayar/melunasi utang si mayit. Dan cara ini mustahab (disukai) dalam agama sebagai penghapusan tuntutan pada mayit di akhirat.

Untuk asas-asas waris itu ada 5, yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas peristiwa kematian.

Asas Ijbari dimaksudkan bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya/otomatis menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Bilateral maksudnya sistem pembagian waris Islam bukan berdasarkan garis keturunan sepihak seperti garis bapak atau garis ibu namun dari kedua belah pihak -- ibu bapak. Jenis kelamin seseorang bukan penghalang seseorang untuk mendapatkan hak warisnya. Asas Individual adalah harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Asas Keadilan yang berimbang adalah jumlah nilai bagian yang diperoleh ahli waris adalah seimbang dengan hak dan kewajibannya. Seorang lelaki lebih besar tanggung jawabnya daripada seorang perempuan sehingga mengakibatkan hak perolehan bagian warisnya berbeda. Pembagian ini dikenal dengan sistem pembagian dua berbanding satu antara lelaki dengan perempuan. Asas peristiwa kematian adalah suatu peralihan harta (waris) itu disebabkan dengan adanya orang yang memiliki harta tersebut meninggal dunia.

Untuk pengelompokan ahli waris, Fiqh Islam Sunni, mengelompokkan nasabiyah dalam empat klasifikasi, sebagai berikut:

a. Ashabu al-furud nasabiyah yakni golongan/kelompok yang mendapat saham tertentu berjumlah 10 orang yakni:

  • Ayah;
  • Ibu;
  • Ayahnya ayah (kakek) seterusnya ke atas;
  • Ibunya ibu (nenek shahihah) seterusnya ke atas;
  • Anak perempuan;
  • Cucu perempuan pancar laki-laki (dalam garis kelelakian);
  • Saudari kandung;
  • Saudari seayah;
  • Saudari seibu;
  • Saudara seibu

Mereka didahulukan dari kerabat/kelompok keluarga lainnya.

b. 'Ashobah nasabiyah yakni kelompok nasabiyah yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mengambil sisa yakni:

  • Juz'u al-Mayit yaitu keturunan langsung mayit dalam garis lelaki tanpa berselang perempuan seperti anak lelaki dan cucu laki-laki pancar lelaki;
  • Ushul al-Mayit yaitu ayah atau ayahnya ayah seterusnya ke atas tanpa berselang perempuan;
  • Juz'u al-Ab yaitu saudara laki-laki kandung, saudara lakilaki seayah dan anak lelaki mereka seterusnya.
  • Juz'u al-Jadd yaitu paman kandung, seayah dan anak-anak mereka yang lelaki.

c. Kelompok Nasabiyah yang memperoleh saham (fard) tertentu sekaligus memperoleh ushubah (bagian sisa saham) adalah:

  • Ayah, ketika tidak ada far'u waris perempuan seperti anak perempuan;
  • Kakek shahih atau ayahnya ayah ketika tidak ada far'u waris perempuan dan tidak ada ayah.

d. Kelompok Nasabiyah yang lebih jauh, tidak termasuk bagian fard/saham tertentu dan ushubah. Disebut dengan kelompok dzaw al-arham sebagai berikut:

  • Far'u waris yang jauh seperti cucu pancar perempuan yang lelaki ataupun perempuan, anak-anak mereka seterusnya.
  • Ushul al-Mayit yang jauh seperti kakek gairu shahih (ayahnya dari ibu mayit atau ayah dari ayahnya ibu mayit) dan nenek ghairu shahihah yakni ibu dari ayahnya ibu seterusnya ke atas.
  • Kelompok menyamping ke bawah seperti anak saudari perempuan yang sekandung, seayah dan seibu dan anakanak perempuan dari saudara kandung, seayah dan seibu, seterusnya ke bawah seperti anak perempuan dari anak laki-laki sudara sekandung dan seayah, maupun anak lelaki saudara laki-laki seibu seterusnya ke bawah.
  • Kelompok leluhur ke atas yang terhubung nasabnya kepada ayahnya ayah dan ayahnya ibu, baik dekat maupun jauh seterusnya.

Kemudian KHI juga mengklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kelompok ashab al-furud sebagai orang-orang yang memperoleh bagian fard/saham tertentu, sebagai berikut:

  • Anak perempuan
  • Ayah
  • Ibu
  • Saudari kandung
  • Saudari seayah
  • Saudari seibu

b. Kelompok 'ashobah nasabiyah yakni yang memperoleh bagian tak tertentu sebagai berikut:

  • Juz'u al-Mayit adalah anak turun langsung pewaris yaitu anak laki-laki pewaris (Pasal 176); ayah tidak termasuk memperoleh 'ushubah (Pasal 177);
  • Juz'u adalah para saudara laki-laki kandung dan seayah. Sedangkan kakek maupun paman kandung dari ayah tidak dijelaskan KHI menerima 'ushubah.

c. Kelompok yang menerima bagian berdasarkan pergantian atau menggantikan kedudukan hak waris dari orang tuanya dengan penerimaan saham tidak boleh dari orang yang sederajat dengan yang digantikan seperti cucu pewaris yang ayah atau ibunya (anak pewaris) telah meninggal dan anak-anak saudara pewaris yang orang tuanya telah meninggal.

Sedangkan dzaw al-arham tidak disebutkan KHI. Dan untuk mereka yang memperoleh hak waris karena hubungan perkawinan (sababiyah), KHI juga tidak berbeda dengan fiqh Sunni bahwa mereka adalah suami atau istri dari pewaris. Suami (duda) atau istri (janda) dimaksud benar-benar telah melakukan perkawinannya secara sah yakni memenuhi syarat dan rukun perkawinan.

Selanjutnya buku ini menjelaskan tentang penghalang memperoleh warisan atau dalam istilah fiqihnya dikenal dengn mawaniu al-irtsi yaitu gugurnya hak seorang ahli waris untuk memperoleh hharta warisan. Dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia, seseorang terhalang memperoleh warisan sebagaimana yang disebutkan pasal 173 adalah berdasarkan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap di hukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Hijab dalam pengertian lajim dalam fiqh Islam adalah keadaan tertentu yang mengakibatkan seseorang terhalang untuk mewarisi, baik terhalangnya mengakibatkan seseorang tidak memperoleh sama sekali (terhijab hirman) atau berakibat hanya mengurai baian perolehan harta warisan (terhijab nuqsan)

Para ahli waris yang dalam konteks hijab hirman terbagi dalam dua kelompok baik dalam fiqh sunni maupun KHI, sebagai berikut:

a. Ahli waris yang tidak pernah terhijab hirman adalah:

  • Anak lelaki
  • Anak perempuan
  • Ayah
  • Ibu
  • Suami
  • Istrib. Ahli waris selain dari mereka pada bagian (a) yang dalam situasi tertentu terhijab hirman dan dalam kondisi lain dapat memperoleh warisan, baik dari golongan ashab alfurud maupun 'ashobah.

Para ahli waris yang terhijab nuqsan, khususnya berdasarkan fiqh Sunni adalah:

  • Suami, saham 1/2 dapat menjadi 1/4 karena far'u waris.
  • Istri, saham 1/4 dapat menjadi 1/8 karena far'u waris.
  • Ibu, saham 1/3  menjadi 1/6 karena far'u waris.
  • Cucu perempuan pancar laki-laki, saham 1/2 menjadi 1/6 karena ada far'u waris yang dekat yakni adanya anak perempuan tanpa adanya anak lelaki (jika ada ia terhijab hirman).
  • Saudari perempuan seayah, saham 1/2 dapat menjadi 1/6 karena adanya saudari perempuan.

Dalam KHI, para ahli waris yang terhijab nuqsan sebagaimana yang dapat dipahami dalam Kompilasi:

  • Suami/duda, saham 1/2 menjadi 1/4 karena ada far'uwaris 
  • Istri/janda, saham 1/4 menjadi 1/8 karena ada far'u waris
  • Ayah, saham 1/3 menjadi 1/6 karena ada far'u waris 
  • Ibu, saham 1/3 menjadi 1/6 karena ada far'u waris

Kemudian untuk perhitungan pembagian waris bisa dilihat langsung dalam ebook yang tertera : https://idr.uin-antasari.ac.id/6387/1/Hukum%20Waris%20Islam%20di%20indonesia%20%28Perbandingan%20Kompilasi%20Hukum%20Islam%20dan%20Fiqh%20Sunni%291pdf.pdf

Lanjut tentang Hibah dan Wasiat. Secara etimologi, Wasiat diambil dari kata whasiat al-syai'a, ushihi yang dimaknakan aushatuhu artinya aku menyampaikan sesuatu. Dengan demikian muushi atau orang yang berwasiat adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu hidupnya untuk dilaksanakan sesudah matinya. Dasar hukum dari wasiat yaitu pada Q.S Al-Baqarah:180 yang artinya "Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda kematian, jika ia meninggalkan harta peninggalan, berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat yang dekat secara ma'ruf sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa".

Rukun dan syarat wasiat menurut madzhab fiqih sunni:

  • Adanya al-muhshi (pewasiat), yaitu orang yang berakal dan sudah dewasa, mukallaf dan tidak dipaksa orang lain. Dalam konteks demikian, KHI pasal 194 menyebutkan tentang orang yang berakal dan dewasa dipahami telah berusia sekurang-kurangnya 21 tahun (Pasal 194 ayat 1)
  • Adanya al-mushilahu (orang yang menerima wasiat) dengan syarat orang tersebut bukan ahli warisnya.
  • Adanya sesuatu yang diwasiatkan (al-musha bihi) adalah milik al-mushi (pewaris) tanpa ada tersangkut hak sedikitpun dengan orang lain.  Dengan kata lain bahwa harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari perwasiat (Pasal 194 ayat 2).  Dalam kategori ini, perwasiatan dipahami lebih bersifat materil/kebendaan, yang oleh karenanya benda dimaksud harus merupakan miliknya sendiri. Jumlahnya harus tidak lebih dari 1/3 harta yang dimiliki oleh pewasiat (al-mushi) kecuali disetujui oleh para ahli waris.
  • Adanya lafadz perwasiatan atau bukti terjadi perwasiatan.
  • Dalam menyikapi konteks demikian, pasal 195 ayat 1 menyebutkan :
  • "Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris".

Pasal 197 KHI menegaskan:

1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiatberdasarkan putusan hakim yang mempunyai kekuatanhukum tetap dihukum karena:

a.Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat,

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahunpenjara atau hukuman lebih berat,

c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat,

d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

Alasan yang mendasar mengapa tindak pidana pembunuhan atau percobaan pembunuhan atau tindak penganiayaan dan fitnah sebagaimana dikemukakan pasal 197 KHI di atas antara lain karena tindakan tersebut menunjukkan unsur pemaksaan terhadap pewasiat.

Pasal 197 ayat (2) menegaskan pula bahwa wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:

a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat,

b. Mengetahui adanya wasiat tersebut tetapi ia menolak untuk menerimanya,

c. mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.

Selanjutnya pasal 207 KHI menegaskan:

"Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya kecuali ditentukan secara tegas dan jelas untuk membalas jasanya".

Pasal 208 : "Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi Akta tersebut".

Selain pengaturan tentang wasiat pada umumnya, hukum perdata Islam juga mengatur tentang wasiat wajibah (psl.209). Apabila seseorang memiliki anak angkat atau orang tua angkat, jika tidak diberi wasiat maka diberi wasiat wajibah maksimal 1/3 harta dari harta waris.  Satu hal yang menjadi alasan mengapa wasiat wajibah dapat diterapkan adalah karena anak angkat ataupun orang tua angkat tidak berhak memperoleh harta warisan.  Maka agar mereka tidak tersisihkan dalam penerimaan harta, wasiat wajibah dapat menutupi keperluan mereka untuk memperoleh harta pewaris.

      Hibah, Dalam pasal 171 huruf  (g) didefinisikan "Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki"

Rukun dan syarat Hibah:

  • Adanya penghibah dengan syarat berumur minimal 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada unsur paksaan dari orang lain (psl.210 ayat 1). Tujuannya agar penghibahan bukan didasarkan atas alasan kebodohan dan pemborosan, atau karena ketidakcakapan si pemberi hibah yang tidak mampu memelihara hartanya.  Jadi hibah harus benar-benar di atas kesadaran dirinya dengan akal sehatnya sendiri untuk kepentingan dan kebaikan orang lain.
  • "Janganlah engkau serahkan harta orang-orang bodoh itu kepadanya yang mana ALLAH  menjadikan kamu memeliharanya". (QS. An-Nisa,5)
  • Adanya penerima hibah (al Mauhubu lahu), dengan syarat ia dapat memilikinya.

Dalam pasal 211 disebutkan :

"Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan"

Pasal 212 :

"Hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya".

Mengapa hibah kepada anak dianggap warisan ? tujuannya agar tidak adanya  sikap orang tua melebihkan anak kesayangannya dengan anak kandungnya yang lain.

  • Adanya harta yang dihibahkan (Al Mauhubu bihi) dengan syarat:
    • Harta yang bernilai sehingga memberi kebaikan dan manfaat kepada orang lain. Barang yang keji tidak dapat dijadikan barang hibah,  
    • Harta benda yang dimaksud sebagai hibah merupakan harta milik si penghibah (al wahib),
    • Tidak boleh melebihi 1/3 harta si penghibah
  • Adanya lafazd yang menyatakan penghibahannya dengan disaksikan dua orang saksi

Demikianlah sekilas review buku "Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni)" karya Dr. H.A. Sukris Sarmadi, S.Ag.MH. Semoga bermanfaat dan sekian terimakasiiii

Ditulis oleh : 

DURROTUN FATIHAH (212121023)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun