Di samping itu selain kewarisan adat dan hukum Islam, di Indonesia berlaku pula hukum waris perdata peninggalan kolonial Belanda yang termaktub dalam B.W atau KUHPerdata. Penyelesaian sengketa waris bagi umat Islam diselesaikan di Pengadilan Agama sedang bagi orang yang non-muslim maka penyelesaiannya di Pengadilan Umum, baik yang menghendaki penyelesaian secara hukum adat (di luar hukum Islam) maupun yang menundukkan diri pada KUHPerdata.
Ruang lingkup kewarisan serta segala istilah terhadapnya disebutkan dalam Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
a. Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing;
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meniggal berdasarkan keputusan Pengadilan Agama Islam meninggalkan ahli waris dan harta penginggalan;
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris;
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya;
e. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat;
f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain tanpa lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meningal dunia;
g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki;
h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan;
i. Baitul Mal adalah Balai harta Keagamaan.