"Nah, itu salahnya Mas. Setiap orang harus punya cita-cita meskipun kita belum tahu kapan tercapai. Cita-cita itu milik semua orang, bukan milik orang kaya saja. Kalau mau maju, orang seperti Mas Karno juga sama harus punya cita-cita yang kuat." Dullah meyakinkan Mas Karno.
"Mas Karno suka ngaji nggak?" Tanya Dullah.
"Suka Pak sehari satu juz tapi saya gak ngerti artinya. Sudah lama ngaji tapi selama itu hanya sedikit yang saya tahu isi Al Quran." Mas Karno menjelaskan.
"Oh gitu? Di Al Quran ada ayat yang menjelaskan bahwa Allah itu mengikuti prasangka hambaNya. Kalau kita mikir mustahil kaya, yang gak mungkin kita dikasih kekayaan. Kalau kita yakin bisa kaya, Allah akan memberi kekayaan bagaimana pun caranya. Segalanya mudah buat Allah, tak ada yang sulit. Tinggal berkata: "Jadi, maka terjadilah!"
Mas Karno tidak menjawab, hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar penjelasan Dullah tanda setuju.
Sampai di sebuah kedai tak jauh dari Hotel Ambarukmo, Dullah nanya lagi.
"Jadi, cita-citamu apa mas?"
"Eng...anu Pak, seandainya..." Mas Karno berhenti sebentar.
"Seandainya Allah memang meridhoi, saya pengen pergi ke tanah suci. Saya pengen pergi haji Pak!" Jawab Mas Karno agak malu-malu.
"Nah, itu cita-citamu bagus banget! Cita-citamu mulia, Mas!" Dullah memberi motivasi.
"Mas Karno bisa pergi haji kapan saja, bisa tahun ini, tahun depan atau terserah kapan Mas Karno mau.