Aku meminang kamu, teman yang aku kenal di pesantren belum lama ini. Pernikahan sangat sederhana, tidak ada pesta, hanya kendurian kecil-kecilan yang dilakukan di pesantren. Pak Haji Husin sangat gembira dengan pernikahan kita, bahkan ia hendak membuat pesta yang besar, tapi aku menolaknya.
Bagiku cukuplah diketahui oleh orang-orang di sekitar pesantren saja. Satu tahun bersama kamu, belum dikaruniai anak. Aku tak mau menjalankan tugasku, Ver. Penyakit yang kuderita semenjak jadi narapidana dulu belum sembuh-sembuh juga.
”Maafkan aku Ver, aku tak mau menularimu dengan segala laknat ini,” lirih bathinku bergumam.
”Vera ke pasar dulu ya Bang.” Tiba-tiba kamu berkata seraya memandangku tanpa kedip.
”Iya Ver, hati-hati ya. Ntar digodain cowok.” ledekku seolah ingin menunjukkan bahwa aku sehat dan tetap bergembira seperti yang sudah-sudah.
”Ah Abang, kalau Vera mau, sudah dari dulu, ngapain Vera menikah sama Abang.” Ia bersungut manja.
”Iya dech, Abang percaya 1000%.” Kataku sambil mengacungkan sepuluh jari. Lalu aku mendekatinya, mengelus pipinya dengan mesra.
”Maafin Abang kalau selama ini banyak salah dan menyusahkan Vera.” Kataku.
”Abang, koq ngomongnya begitu?” Kamu heran melihat genangan di bendungan mataku.
”Nggak apa-apa Ver, Abang hanya merasa selama ini banyak dosa pada kamu,” ungkapku
”Sebetulnya Vera lah yang harus minta maaf, karena selama menjadi istri Abang, Vera merasa belum melayani Abang layaknya istri yang berbakti.” Ia menitikkan air mata.