Masih terbayang peristiwa berdarah yang berawal dari masalah sepele. Hampir tanpa alasan. Sebetulnya aku tidak harus bertaruh nyawa. Tapi sakit hatiku karena hinaan Rahmat, kawananku dalam kelompok kejahatan membuatku gelap mata.
Penyakitku memang mematikan. Tapi aku tak mau ia diumbar. Aku merasa ini aib yang harus selalu ditutupi. Oleh siapa pun yang tahu tentang aku. Sering keluar masuk tahanan, membuat kami tak mampu menghindar atau sekedar menahan, tak bisa membedakan perempuan dan pejantan. Iman pun tak mampu menundukkan hebatnya syetan. Akhirnya penyakit kelamin ini menjalar perlahan. Yang mengiris kepiluan dan berkabung dengan penderitaan.
Dan Rahmat telah melontarkan luka itu. Ia sengaja menusukkannya untuk melukai perasaanku. Padahal aku sudah memperingatkannya. Tapi ia menantangku dengan mengusung rasa tidak takut. Sampai sebilah belita bersarang menghujam jantungnya telah mengotori tanganku.
Aku berlari. Dan terus berlari tanpa henti. Percuma saja petugas mencari-cariku. Aku sudah berhasil bersembunyi. Bahkan sesampainya aku di kampung ini, di pesantren ini, sudah tidak terlacak lagi.
Aku kapok di penjara. Aku kapok jadi narapidana. Tapi aku tak jera merampok, membunuh bahkan memperkosa. Kamu tahu Vera. Betapa tersiksanya hidup tak punya arah. Betapa tersiksanya mengalami salah langkah.
Ada satu kejadian yang sering membuat piluku menggulung jiwa seakan kehilangan nyawa. Raga tegapku berubah warna menahan dinginnya aliran rasa bersalah seperti sapuan angin membekukan darah.
Aku tak hendak melakukannya. Namun kala itu, saat merampok sebuah rumah mewah, aku tergiur melihat kecantikan seorang gadis. Aku memang bejat. Aku lelaki laknat, tak cukup membunuh kedua orang tua gadis itu. Kurengut paksa pula hartanya yang paling berharga.
Masih teringat wajah takutnya. Masih terngiang rintihan sakitnya. Masih terbayang menggigil tubuhnya. Sesal? Aku memang menyesal sesudahnya. Apalagi hari-hari berikutnya aku menjadi penghuni penjara Ver. Aku berkumpul dengan binatang aneka rupa. Yang senantiasa menjilati kebuasan peradaban.
Itulah kenapa aku berlari dari kejahatan terakhirku. Aku tak mau mempertanggungjawabkannya di dalam bui lagi. Menjadi pelarian sudahlah pasti. Tapi hatiku jadi tak terkendali, gelisahnya kian menjadi.
Aku beruntung bertemu dengan Pak Haji Husin. Ia memintaku bertobat. Mengajariku mengaji bukanlah perkara mudah. Penjahat kambuhan sepertiku ini pastilah qolbunya sudah sekeras baja.
Untuk membantu kesembuhanku, aku meminta Pak Haji Husin menikahkan aku dengan kamu, Vera. Diakhir bulan April, bumi sudah mulai diguyur hujan. Daun-daun gugur berganti dengan pucuk hijau yang menawan.