”Tidak Ver. Kamu sudah sempurna. Tapi Abanglah yang banyak salah. Kelak, kalau Abang tiada, Abang ingin Vera menikah lagi, dengan laki-laki yang dapat menjadi imam yang baik bagi Vera.” Aku berkata dengan suara tercekat.
”Abang jangan berkata begitu.” Isak Vera tak tahan.
”Iya, Abang bercanda koq, udah ke pasar sana.” Aku kembali tertawa dan mengedipkan mata.
Kamu bersungut. Wajah cantikmu sudah mulai kehilangan cahaya. Tidak seperti saat pertama kusunting dulu.
Setelah kamu berangkat, aku merasakan tubuhku menggigil. Keringat bercucuran bagaikan butiran jagung. Kepalaku terasa ditusuk-tusuk. Rasa takut menghinggapi pikiranku. Naluriku berkata, akankah tiba masaku? Bathinku menjerit. Aku harus melawan semua itu. Aku harus kuat. Aku harus menjaga kamu yang akan hidup sebatang kara.
Aku bergegas merebahkan diri di kursi tamu. Semua kurasakan gelap, hingga tak melihat apa-apa lagi.
”Bang, sadarlah Bang.” terdengar suara halus memanggilku. Suara itu begitu lirih. Diiringi sedu sedan tangis.
Aku berusaha untuk bangun. Kucoba membuka mata, tapi sangat berat. Aku memaksakan diri, sedikit demi sedikit cahaya menerpa mataku. Samar-samar kulihat wajah kamu dengan mata sembab dan sayu.
”Abang sudah siuman.” Kamu tersenyum bahagia.
”Iya, maaf Abang ketiduran tadi.” jawabku membalas senyummu.
”Apa? Ketiduran sampai dua hari satu malam?” Kamu menyadarkan kebohonganku.