Entah sudah berapa prapatan terlalui dan pengkolan terkitari sebelum kami akhirnya sampai di depan gerobak yang, sayangnya, terlihat tengah dibereskan.
"Baru aja habis, Teh ... Maap ...."
Kami memberi akangnya salam terima-kasih, lalu menepi.
"Maaf ya, Kak. Yang dua tadi itu gado-gado terenak, rekomendasi teman-teman," jelas Isa.
"Kalau yang sejenis gado-gado, mau, Kak? Aku tahu warung yang buka sore-sore. Kebetulan searah dengan tujuan kita. Tapi maaf, bukan gado-gado seperti maunya Kakak. Ini kupat tahu ...."
Aku dan Yahya bersipandang. Kami mengangguk setuju.
"Wah, mau! Kita ke kupat tahu," sambut Yahya.
Punah sudah penat kami. Bukan lantaran terbayang kupat tahu dan empat gelas es jeruk, melainkan karena kata-kata Isa.
"Ini teh kupat tahu petis. Mirip ketoprak. Tidak sama persis dengan gado-gado. Tapi, yang pasti di dalamnya ada yang Kakak mau. Ada sayurnya, ada ketupatnya, ada bumbu kacangnya, ada bawang gorengnya. Pakai kecap. Dan kerupuk."
Jika definisi empati adalah membayangkan diri sendiri ada di posisi orang lain, empati Isa, buat kami, empati yang murni.
Ketika tadi muncul gado-gado di kepala, aku sebetulnya tidak keberatan diajak ke mana saja. Diganti pempek, fuyunghai, tutug oncom, ikan woku atau burger pun tak apa. Aku suka semua. Yahya pun sama.