[Terintip, catatan harian tentang empat saudara]
Tempo hari kami diutus Ibu ke Bandung.
Beliau ingin menitipkan surat dan buah tangan untuk sepupu-sepupu kami, yang belum lama kehilangan bunda tercinta, kakak ipar Ibu. Kami sekeluarga memang belum sempat berbela sungkawa.
Walau ini pengutusan spontan, adikku setuju.
Kesempatan bagi kami berdua untuk bertemu kakak-kakak setelah sekian lama. Kesempatan bagi Yahya untuk bertemu sahabatnya.
Minggu subuh kami berangkat. Jalanan lengang.
Gangguan hanya sedikit. Hujan super-lebat turun menjelang pintu keluar Padalarang.
Halangan pun cuma satu. Sejak keluar rumah sampai kami melewati gerbang Cileunyi, pesan-pesan WA kepada kedua kakak sudah terkirim namun masih bercentang abu satu. Telepon juga belum berjawab.
Tidak apa.
Tujuan pertama: menjemput Isa, sahabat Yahya. Perempuan ini tutur katanya lembut, selembut hatinya. Pribadi yang pandai membawa diri, hangat, ramah dan ramai. Pantas mereka berdua bersahabat. Opposites attract.
Tujuan kedua: sarapan. Kami ingin makanan ringan saja pagi itu, yang khas Bandung, tapi.
Kami dipandu Isa mengarah ke Ujung Berung. Ke alun-alunnya yang sederhana. Menenteng awug dan jajanan pasar lain yang kami beli tak jauh dari situ.
Penat lepas sesaat. Perjalanan berlanjut.
Jalan dadakan memang kadang berakhir tak sesuai harapan.
Belum ada kabar dari kedua kakak sepupu. Tapi keinginan kuat bertemu membuat kami sepakat tetap menuju rumah mereka, meski keduanya tinggal berjauhan. Yang satu di sisi selatan kota, yang lain di sebelah utara. Dan kami belum pernah ke sana.
Dari ujung kota yang satu ke ujung yang lain, berkisaran di Bandung, rupanya bukan jarak yang bisa tuntas ditempuh dalam tempo sesingkat kami mau.
Pada to-do-list, 'ke rumah OmDon', sepupu selatan, sudah kami centangi: not completed. Masih terhutang. Alasan: alamat kurang lengkap.
Baris berikut di daftar: ke rumah sepupu utara.
"Ke nomornya langsung aja, Kak. Semoga ada."
Telepon pertama. Senyap. Telepon kedua hingga keempat. Sama.
Tapi, baris berikut dalam daftar belum pantas diberi tanda centang. Kami harus bertemu sepupu-sepupu itu. Dan buah tangan yang masakan Ibu belum tentu tahan sampai malam.
Aku coba lagi menghubungi mereka.
Terangkat, syukurlah, pada dering pertama!
Rupanya kedua kakak sedang sama-sama di luar kota. Ada proyek musik kolaborasi dengan teman-teman seprofesi. Mereka kembali ke Bandung menjelang jam delapan.
Kalau begitu, belanja minumanlah dulu kami, sebelum menikmati terik matahari Priangan hingga senja. Menebus haus, menarik napas. Yahya paling butuh ini; dia sudah tujuh jam lebih mengemudi.
"Pukul 2 lewat sekarang. Kakak berdua belum makan siang. Kakak mau makan apa?" tanya Isa, kepadaku. Kagumku meninggi. Ia bertanya terlebih dulu kepadaku, yang lebih tua-usia dibanding Yahya, sahabatnya.
Pikiranku ke gado-gado Mang Wahyu di Jalan Semarang. Lalu melipir ke ketoprak Cikajang.
"Ada gado-gadokah di sekitar sini?" tanyaku.
"Kak Magda mau gado-gado, ya?" katanya, memastikan. "Kak Yahya?"
Yahya bukan pemilih. Adikku ini akan menghargai pilihan orang. Dan mungkin di benaknya saat itu hanya ada 'meluruskan kaki' dan 'koka-kola, seliter'.
"Daerah sekitar sini kurang aku kenal, tapi aku coba cek ke teman-teman dulu," lanjutnya seraya membuka hape. "Kalau sudah segar lagi, yuk, kita jalan. Kita cari gado-gado."
Setelah sekian belas menit berkomunikasi di whatsapp dan dua kali menelepon, Isa mengantar kami ke satu lokasi.
"Oh ... tempatnya tutup ...," kata Isa, setengah berbisik. "Kita harus ke yang lain."
Entah sudah berapa prapatan terlalui dan pengkolan terkitari sebelum kami akhirnya sampai di depan gerobak yang, sayangnya, terlihat tengah dibereskan.
"Baru aja habis, Teh ... Maap ...."
Kami memberi akangnya salam terima-kasih, lalu menepi.
"Maaf ya, Kak. Yang dua tadi itu gado-gado terenak, rekomendasi teman-teman," jelas Isa.
"Kalau yang sejenis gado-gado, mau, Kak? Aku tahu warung yang buka sore-sore. Kebetulan searah dengan tujuan kita. Tapi maaf, bukan gado-gado seperti maunya Kakak. Ini kupat tahu ...."
Aku dan Yahya bersipandang. Kami mengangguk setuju.
"Wah, mau! Kita ke kupat tahu," sambut Yahya.
Punah sudah penat kami. Bukan lantaran terbayang kupat tahu dan empat gelas es jeruk, melainkan karena kata-kata Isa.
"Ini teh kupat tahu petis. Mirip ketoprak. Tidak sama persis dengan gado-gado. Tapi, yang pasti di dalamnya ada yang Kakak mau. Ada sayurnya, ada ketupatnya, ada bumbu kacangnya, ada bawang gorengnya. Pakai kecap. Dan kerupuk."
Jika definisi empati adalah membayangkan diri sendiri ada di posisi orang lain, empati Isa, buat kami, empati yang murni.
Ketika tadi muncul gado-gado di kepala, aku sebetulnya tidak keberatan diajak ke mana saja. Diganti pempek, fuyunghai, tutug oncom, ikan woku atau burger pun tak apa. Aku suka semua. Yahya pun sama.
Isa memang bukan kami. Ia sebisa mungkin memenuhi kemauan orang-orang yang lekat di hati. Ia meminta saran teman-teman. Menjadi penunjuk jalan. Dan memikirkan betul apa gantinya, ketika yang diingini tak tersedia.
Pada kupat tahu, tergambarkah empati sejati?
Meski berkuah petis, itu mah pasti!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H