"Dengan siapa kau ke Muria?"
"Razzan. Â Tek tok, pagi naik, siang turun. Pendek, hanya tiga jam. Kenapa?"
"Itu melelahkan."
"Hahaha.. ini mendaki Mas. Bukan sight seeing di mall. Tentu saja melelahkan. Kukira, kau merasakan pada tiap langkah yang membawamu ke puncak."
"Aku tahu."
"Nah, lantas apa yang menghalangimu mengulang pendakian? Lakukan saja kalau kau merindukan jalur setapaknya. Apalagi kau lebih suka mendaki di malam hari. Ditingkahi suara serangga malam. Gunung selalu rindu untuk dikunjungi pendaki yang membawa hatinya ke atas sana. berbagi penat beban jiwa dalam pekak riuh seharianmu. Senyap Mas, dalam perjalanan malammu, kau sendiri dengan seluruh isi hatimu."
"Aku memang akan mendaki lagi."
"Iyakah? Ke mana kali ini?"
"Prau Dieng Wonosobo."
"Aku tahu di mana Prau," sahutnya sembari tersenyum. Wajahnya tak pernah lepas dari senyum. Sekali aku melihatnya menangis. Aku tak ingin melihatnya lagi. Nyatanya tidak. Aku membuatnya menangis lebih sendu berkali kali.
"Jangan lupa batuku. Kau tahu kan perlengkapan apa saja yang harus kau bawa?"