Kutarik nafas panjang. Mendengar rencana mendaki bersama kawan asramanya, aku iri. Kutelan rengekan untuk mengajakku. Â Aku tahu, dia tak akan mengajakku. Berulang kali aku menceritakan padanya pengalaman mendakiku, dengan harapan dia mengikuti jejakku. Menapak menuju puncak untuk sebuah perasaan yang sulit digambarkan. Ini bukan soal penaklukan mencapai puncak. Ini tentang kesenyapan dalam syahdu. Aku menyukai suasananya, terasa berada di dunia lain.
Pengaturan kecepatan dan ritme langkah menentukan rentang waktu pendakian. Semakin panjang durasi, semakin terkuras stamina. Beban di pundak juga harus diperhitungkan. Apalagi wanita, rentan osteoporosis karena siklus bulanan dan kehamilan. Kalsium diambil dari tulang, sehingga berat beban harus diperhitungkan tidak lebih dari sepuluh persen berat badan. Artinya, barang yang dibawa adalah perlengkapan keamanan dan keselamatan dalam pendakian.
Dia baru memulai sebuah pendakian. Aku sedikit khawatir. Gunung bukan mall, uang tak bisa membeli apapun di gunung. Bahkan setetes air menjadi begitu berharga di atas sana. Keindahan dan rasa yang diperoleh, sepadan dengan kuyup keringat. Apa yang terpandang, lunas terbayar.
Bisakah dia kembali dengan selamat? Pendakian tanpa pernah turun, adalah kegagalan. Ingin kukejar dia, kuberikan daftar barang yang harus dia siapkan. Lantas kuperiksa dengan seksama bawaanya. Tapi tak akan pernah kulakukan. Sudahlah, dia laki laki tangguh kan? Kupandang punggungnya berlalu dari depanku dengan iringan doa dan harapan dia akan kembali. Selamat dan tersenyum padaku.
***
Senyum lebar menyambutku. Kuletakkan batu didepannya. "Ini pesananmu," kataku.
"Terima kasih," katanya, "Jadi?"
"Jadi?"
"Di atas sana, indah kan?"
Aku hanya mengangkat bahuku. "Sibukkah?"
"Hanya rutin. Kenapa?"