"Aku mendaki minggu depan."
"Ke?"
"Andong. Katamu mendaki dimulai dari yang terendah."
"Ya, seharusnya begitu, untuk melatih fisik dan ketahanan. Mendaki bukan olahraga ringan. Tenda, kantong tidur, makanan, air, pakaian ganti, kau harus mengangkut semuanya dari bawah ke atas melalui jalan yang jelas menanjak. Membawa semua itu di pundakmu, butuh ketahanan, pengaturan nafas."
"Hmm."
"Dengan siapa kau berangkat?"
"Kawan, seasrama."
"Aku berharap kau menyukainya. Rasakan sensasi di atas sana. Angin yang menyapa hidungmu membuatnya membeku. Waktu malam tengadahkan wajahmu ke langit dan ke bawah, taburan berlian indah sekali. Pandang mentari keesokan pagi, yang perlahan menyembul, kau akan jatuh cinta."
Aku mengedikkan bahu mendengarkan celotehannya. Aku memang penasaran dengan rasa mendaki yang sering diceritakan. Seolah dia memiliki dunia lain. Aku sendiri pesimis aku akan menyukai. Apa enaknya mendaki susah payah hanya untuk turun. Huufft. Kalau sekedar pemandangan sunrise atau sunset toh di pantai bisa tanpa perlu bersusah payah membawa beban berat. Kampung halamanku adalah kota pesisir pantai utara laut Jawa. Sunset dan sunrise makanan tiap hari.
"Bawakan aku batu dari tiap pendakianmu. Bisakah?" pintanya. Aku mengangguk. Kupandangi dia, tanpa kata, aku beranjak dan berlalu dari mejanya. Â Banyak yang ingin kutanyakan. Tentang pendakian, aku pemula dibanding dia. Tapi egoku menang. Tanpa suara, aku beranjak keluar ruangan, diiringi pandangan matanya. Sama-sama diam.
***
Kutarik nafas panjang. Mendengar rencana mendaki bersama kawan asramanya, aku iri. Kutelan rengekan untuk mengajakku. Â Aku tahu, dia tak akan mengajakku. Berulang kali aku menceritakan padanya pengalaman mendakiku, dengan harapan dia mengikuti jejakku. Menapak menuju puncak untuk sebuah perasaan yang sulit digambarkan. Ini bukan soal penaklukan mencapai puncak. Ini tentang kesenyapan dalam syahdu. Aku menyukai suasananya, terasa berada di dunia lain.
Pengaturan kecepatan dan ritme langkah menentukan rentang waktu pendakian. Semakin panjang durasi, semakin terkuras stamina. Beban di pundak juga harus diperhitungkan. Apalagi wanita, rentan osteoporosis karena siklus bulanan dan kehamilan. Kalsium diambil dari tulang, sehingga berat beban harus diperhitungkan tidak lebih dari sepuluh persen berat badan. Artinya, barang yang dibawa adalah perlengkapan keamanan dan keselamatan dalam pendakian.
Dia baru memulai sebuah pendakian. Aku sedikit khawatir. Gunung bukan mall, uang tak bisa membeli apapun di gunung. Bahkan setetes air menjadi begitu berharga di atas sana. Keindahan dan rasa yang diperoleh, sepadan dengan kuyup keringat. Apa yang terpandang, lunas terbayar.
Bisakah dia kembali dengan selamat? Pendakian tanpa pernah turun, adalah kegagalan. Ingin kukejar dia, kuberikan daftar barang yang harus dia siapkan. Lantas kuperiksa dengan seksama bawaanya. Tapi tak akan pernah kulakukan. Sudahlah, dia laki laki tangguh kan? Kupandang punggungnya berlalu dari depanku dengan iringan doa dan harapan dia akan kembali. Selamat dan tersenyum padaku.
***
Senyum lebar menyambutku. Kuletakkan batu didepannya. "Ini pesananmu," kataku.
"Terima kasih," katanya, "Jadi?"
"Jadi?"
"Di atas sana, indah kan?"
Aku hanya mengangkat bahuku. "Sibukkah?"
"Hanya rutin. Kenapa?"
Aku menggeleng , memainkan aneka alat tulis yang berserak di mejanya. Sesekali kupandang wajahnya. Mencari cari dalam sorot matanya. Entahlah apa yang kucari di sana, aku juga tak tahu. Apa yang kurasakan saat memandang wajahnya sulit kujelaskan. Aku hanya ingin bertemu dan melihat wajahnya. Bisa jadi aku membencinya. Aku beranjak melangkah keluar. Di ambang pintu, aku berpaling, "Aku tak ingin mendaki lagi." Aku melanjutkan langkahku.
"Hei, mau kemana?" Serunya. Aku tak menjawab. Tak ingin menjawab. Selarik benci muncul untuknya.
***
"Kudengar kau naik Muria."
"Ya, kenapa?"
"Nothing. Cuma penasaran. Kau ambil sendiri batumu?"
"Haha.. aku lupa."
"Ah, kalau begitu aku tak usah membawakanmu batu lagi kan?"
"Apa kau berniat mendaki lagi? Kau bilang kemarin tak ingin mendaki lagi."
"Hmm.. memang, tapi tak ada yang salah kan kalau aku mendaki lagi?"
"Pertanyaan aneh, tentu saja tidak. Pergi saja mendaki kalau kau suka."
"Dengan siapa kau ke Muria?"
"Razzan. Â Tek tok, pagi naik, siang turun. Pendek, hanya tiga jam. Kenapa?"
"Itu melelahkan."
"Hahaha.. ini mendaki Mas. Bukan sight seeing di mall. Tentu saja melelahkan. Kukira, kau merasakan pada tiap langkah yang membawamu ke puncak."
"Aku tahu."
"Nah, lantas apa yang menghalangimu mengulang pendakian? Lakukan saja kalau kau merindukan jalur setapaknya. Apalagi kau lebih suka mendaki di malam hari. Ditingkahi suara serangga malam. Gunung selalu rindu untuk dikunjungi pendaki yang membawa hatinya ke atas sana. berbagi penat beban jiwa dalam pekak riuh seharianmu. Senyap Mas, dalam perjalanan malammu, kau sendiri dengan seluruh isi hatimu."
"Aku memang akan mendaki lagi."
"Iyakah? Ke mana kali ini?"
"Prau Dieng Wonosobo."
"Aku tahu di mana Prau," sahutnya sembari tersenyum. Wajahnya tak pernah lepas dari senyum. Sekali aku melihatnya menangis. Aku tak ingin melihatnya lagi. Nyatanya tidak. Aku membuatnya menangis lebih sendu berkali kali.
"Jangan lupa batuku. Kau tahu kan perlengkapan apa saja yang harus kau bawa?"
"Hmm. Aku pergi minggu kedua bulan ini."
"Kabari saja aku."
"Ya."
***
Bunyi notifikasi di ponselku berbunyi. Cepat kuraih. Berharap ada kabar tentang dirinya. Sedikit resah hinggap. Kutelan ludah kecewaku. Dia tak mengabariku. Tapi memposting kegiatan mendakinya di facebook. Ditingkahi aneka komentar friends facebooknya dan filler video pendek tentang aktivitas yang dilakukan. Kupandangi satu-satu. Wajah kumalnya terlihat lelah. Seperti biasa, tak pernah menonjol, berdiri di belakang kerumunan dengan senyum sinis tipis di bibir. Gadis-gadis manis berebut tampil dalam frame yang diambil melalui kamera ponsel. Aku mengenali mereka. Satu dari mereka memasuki hatinya. Mengetuk pelan, lantas mendekam di sana. Sedikit nyeri, kutekan segera. Tak boleh muncul, meski sekilas, tak boleh dibiarkan muncul. Dia milik masa depan dan bersama dengan masa depan. Aku tersenyum tipis, memandang kembali semua postingannya. Dia mulai menyukai pendakian.
 Ku tutup layar ponselku cepat.  Membunuh perasaan harus segera dilakukan sebelum menjadi bara lantas membakar yang sudah ada. Mudah bagiku melakukan. Aku pasti bisa. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H