Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapak Topi Kodok

29 Agustus 2016   20:32 Diperbarui: 29 Agustus 2016   20:45 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ njeh ..Aku pesan khusus nak. Dua kaos, yang satu lagi dipakai putriku, kupersembahkan kaos itu untuknya”

Rasa herannya semakin menjadi. Sempat Ia berniat untuk bertanya lebih dalam kepada si bapak. Tapi Ia pikir apa pentingnya si bapak yang menjadi aneh itu, di zaman seperti ini dengan segudang mawar pun wanita lebih memilih selembar cek berisi jumlah nominal uang. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan aneh  itu. Rokok dilempar. Asap nikotin Ia hela dan hembus untuk terakhir kali, berharap itu semua menjadi penutup perbincangan dengan bapak itu. Harapan itu hampir kandas, sebab tiba-tiba.

"Air nak?”

“Terimakasih, saya ada pak”

Untuk  hal ini otaknya sudah terdoktrin supaya berterima kasih atau menolak dengan halus. Ia pernah menyimak berita di tv tentang pembiusan di kereta atau bis, karena menerima air minum dari orang asing yang kebetulan duduk  berdekatan lalu korban tertidur dan pelaku bebas merampas apapun  yang dimiliki korban. Pun mereka mendiam kembali.

Tak lama kemudian Ia menatap arloji. Jarum yang terdapat di dalam jam tangannya diam tepat di hadapan angka satu. Jarum itu terlihat bertumpuk dengan satu jarum lagi yang sedikit lebih panjang. Sedangkan jarum yang paling tipis dibanding ke dua jarum itu masih asik berjalan-jalan mengelilingi angka-angka yang mematung di tepi.

Di karcis kereta yang Ia simpan pada selipan dompet tertulis kereta tiba pukul 14.30. Sekilas Ia berhayal tubuhnya dapat mengecil, lalu masuk ke dalam jam tangan itu untuk sekedar memaksa jarum tertipis tersebut agar berjalan lebih cepat.

Perutnya mulai berasa lapar. Seketika Ia beranjak dari bangku gandeng dan meninggalkan bapak di sebalahnya itu tanpa memberi salam perpisahan basa-basi. Ia mencari sesuatu yang dapat diberikan pada perutnya yang tambun itu. Pantauan matanya melandas pada seorang ‘ibu’ berkain batik yang berselonjor pada tepian peron. Ibu itu menjajakan makanan khas kota ini.

“ nasi gudeknya satu bu”

Dengan dialek yang medok si Ibu melayani, menyodorkan bangku plastik ukuran kecil berwarna hijau, semacam yang biasa digunakan ibu-ibu ketika mencuci baju. Ia santap dengan lahap nasi gudek yang disajikan dengan piring plastik berlapis daun pisang dan sendok plastik yang bergeletak cantik di atasnya. Tiba-tiba suara raungan kereta terdengar menggelegar. Kereta tersebut berada di ujung rel, Ia hanya dapat melihat kepala kereta tersebut mendekat. Ia bertanya pada ibu penjual nasi gudek.

“Kereta dari mana bu?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun