Pada bangku tunggu berwarna biru pudar Ia duduk dan tidak sabar, untuk mengucap “Sampai Bertemu!“ kepada kejengahan yang sudah cukup membuatnya berkeluh.
Di sekitarnya selalu terdengar gegap gempita para pengunjung dengan tujuan yang beragam. Hampir dari mereka semua mengernyitkan raut wajah akibat terpancar sinar matahari yang sedang gagah-gagahnya. Ketimbang membaca koran atau sekedar mengutak-atik telepon genggam seperti penunggu lainnya, Ia lebih memilih melamun ketika menunggu kendaraan yang berhabitat di atas rel yang dikendalikan oleh lokomotif yang akan membawanya pulang itu.
Libur pada enam bulan pertama kuliahnya ini sangat ditunggu-tunggu olehnya, walau tidak untuk selamanya Ia pergi dari kota itu, mungkin hanya tiga pekan lalu Ia harus kembali lagi menjalankan semua kejengahannya. Banyak dari teman-temannya sangat antusias dalam menjalani awal-awal perkuliahan namun hal serupa tidak dirasakan olehnya, Ia malah merasa langsung tercebur dalam samudra kejengahan.
Ia memang tipikal manusia yang sulit menerima sesuatu hal yang baru, apa pun hal itu. Sudah Ia tinggalkan tumpukan buku akademik dari produk asli sampai imitasi yang sudah cukup berhasil memberikan kerut pada kulit dahinya, juga dicampakannya pakaian-pakaian kotor yang bergelimangan tidak karuan pada kamar sewanya.
Suasana pengap di stasiun itu tertata sempurna sampai-sampai baju yang Ia kenakan mulai dirembesi keringat. Sebatang rokok yang sedari tadi dijepit dengan dua jemarinya itu pun seakan merengek menuntut agar lekas dibakar sehingga mati dan terbebas dari kepengapan yang teramat sangat itu.
Lantas korek gas bertanda SNI dari dalam saku bajunya pun digunakan, terbakarlah rokok tersebut. Pun kembali ia tenggelam dalam lamunan. Selain kenang-kenangan bersama ibunya tak ada lagi yang dilamunkannya. Ia merindukan ibunya. Paras ibunya pun kerap muncul di pelafon kamar sewaanya ketika Ia kesulitan tidur. Parahnya lagi kerinduannya ini tak akan terlunasi walau pun Ia sampai di rumahnya, sebab kerinduan itu tertuju kepada seseorang yang sudah tidak dapat ditemukan lagi di mana pun dalam dunia ini.
Tiba-tiba lamunanya terganggu oleh suara seseorang yang tertuju padanya. Suara itu datang dari bangku sebelah kiri yang disinggahi oleh seorang pria yang pantas disebut ‘bapak-bapak’.
“ nak..nak..nak”
“ iaaa pak ada apa ?”
Bapak berewokan itu memakai celana panjang blue jeans, berkaos putih dengan gambar satu tangkai bunga mawar merah, lengkap dengan topi ala para pelukis seperti Patino Sidin atau sebut saja topi kodok.
“ Boleh pinjam koreknya nak ?”