Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapak Topi Kodok

29 Agustus 2016   20:32 Diperbarui: 29 Agustus 2016   20:45 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada bangku tunggu berwarna biru pudar Ia duduk dan tidak sabar, untuk mengucap “Sampai Bertemu!“ kepada kejengahan yang sudah cukup membuatnya berkeluh.

Di sekitarnya selalu terdengar gegap gempita para pengunjung dengan tujuan yang beragam. Hampir dari mereka semua mengernyitkan raut wajah akibat terpancar sinar matahari yang sedang gagah-gagahnya. Ketimbang membaca koran atau sekedar mengutak-atik telepon genggam  seperti penunggu lainnya, Ia lebih memilih melamun ketika menunggu kendaraan yang berhabitat di atas rel yang dikendalikan oleh lokomotif yang akan membawanya pulang itu.

Libur pada enam bulan pertama kuliahnya ini sangat ditunggu-tunggu olehnya, walau tidak untuk selamanya Ia pergi dari kota itu, mungkin hanya tiga pekan lalu Ia harus kembali lagi menjalankan semua kejengahannya. Banyak dari teman-temannya sangat antusias dalam menjalani awal-awal perkuliahan namun hal serupa tidak dirasakan olehnya, Ia malah merasa langsung tercebur dalam samudra kejengahan.

Ia memang tipikal manusia yang sulit menerima sesuatu hal yang baru, apa pun hal itu. Sudah Ia tinggalkan tumpukan buku akademik dari produk asli sampai imitasi yang sudah cukup berhasil memberikan kerut pada kulit dahinya, juga dicampakannya pakaian-pakaian kotor yang bergelimangan tidak karuan pada kamar sewanya.

 Suasana pengap di stasiun itu tertata sempurna sampai-sampai baju yang Ia kenakan mulai dirembesi keringat. Sebatang rokok yang sedari tadi dijepit dengan dua jemarinya itu pun seakan merengek menuntut agar lekas dibakar sehingga mati dan terbebas dari kepengapan yang teramat sangat itu.

Lantas korek gas bertanda SNI dari dalam saku bajunya pun digunakan, terbakarlah rokok tersebut. Pun kembali ia tenggelam dalam lamunan. Selain kenang-kenangan bersama ibunya tak ada lagi yang dilamunkannya. Ia merindukan ibunya. Paras ibunya pun kerap muncul di pelafon kamar sewaanya ketika Ia kesulitan tidur. Parahnya lagi kerinduannya ini tak akan terlunasi walau pun Ia sampai di rumahnya, sebab kerinduan itu tertuju kepada seseorang yang sudah tidak dapat ditemukan lagi di mana pun dalam dunia ini.

Tiba-tiba lamunanya terganggu oleh suara seseorang yang tertuju padanya. Suara itu datang dari bangku sebelah kiri yang disinggahi oleh seorang pria yang pantas disebut ‘bapak-bapak’.

nak..nak..nak

iaaa pak ada apa ?”

Bapak berewokan itu memakai celana panjang blue jeans, berkaos putih dengan gambar satu tangkai bunga mawar merah, lengkap dengan topi ala para pelukis seperti  Patino Sidin atau sebut saja topi kodok.

“ Boleh pinjam koreknya nak ?”

“Oh ini silakan pak”

Korek gas yang isinya tidak utuh itu pun menjadi jembatan menuju pembicaraan yang tidak pernah mereka rencanakan. Bapak itu membakar rokok yang jauh lebih tebal dibanding rokok yang sedang Ia hisap. Bagi seseorang yang sedang menunggu kereta api yang masih lama tibanya, ngobrol  adalah salah satu obat penghilang rasa jenuh, dan ketika siapa saja seorang diri di stasiun, maka mereka anggap berkomunikasi dengan siapa pun sah saja, walau dengan orang asing sekali pun. Bapak itu pun membuka dialog.

“Kamu mau kemana nak?”

" ke jakarta pak"

" oh HaHaHa kota yang indah itu toh "

Ia bingung juga kaget karena disambar suara tawa bapak itu yang serak dan tiba-tiba itu. Ia belum sampai hati untuk bertanya, hanya bicara sekedarnya, hitung-hitung mencegah kantuk dan ketiduran, pikirnya. Namun beberapa jenak kemudian bapak itu melanjutkan kembali.

“ Dulu aku pernah hidup di sana ”

“ Oya?”

 “ njeh.. tapi nda begitu lama”

Lalu tanpa Ia sadari sebuah pertanyaan terucap juga olehnya.

” Oww..mmm  bapak ingin kemana?”

“ cuma menunggu . Putri saya sedang dalam perjalanan pulang dari Bandung. Dia sedang libur kuliah nak”

Seorang bapak sedang membopong kerinduan, seistimewa apakah anaknya sehingga seorang ayah yang Ia pikir seharusnya sedang bekerja atau bersantai di kantor, malah menunggu putrinya, cantikah anaknya itu? dalam benak Ia bertanya-tanya. Namun obrolan mereka terhenti sejenak terhempas hiruk pikuk kereta api yang tiba di peron sebelah. Keadaan pun kembali seperti semula, si bapak kembali serius menatapi koran, dan Ia kembali melamun bersama rokoknya.

Keringatnya semakin jelas tercium. Mungkin aromanya tersebar hingga ke sekitar. Tapi orang-orang tidak akan sempat mencium bau keringatnya itu, karena mereka pasti sedang sibuk dengan bau keringat mereka sendiri. Matanya mulai ruyup, bara rokoknya sudah semakin  mendekati kulit jemari. Mungkin butuh sepuluh detik lagi Ia akan tertidur. Namun lagi-lagi bapak itu menawarkan pembicaraan , sehingga mendadak kedua matanya tegak kembali.

“Nak.. kamu suka sama bunga mawar  toh?”

“ eee..Suka, tapi biasa saja. memangnya kenapa pak?”

“ Nda papa. Aku cuma mau bilang sama kamu,Tapi ini rahasia loh..”

“ wahh...”

“ Begini nak.. kamu bisa dapatkan gadis model apapun. kamu tinggal membawakannya  mawar nak..percayalah.. "

Bapak itu tiba-tiba berbicara tentang mawar. Seketika Ia merasa ada yang aneh dengan si bapak.

“ bertahun-tahun aku mengejarnya. Dengan mawar aku melamarnya, dia menerimaku. Kami menikah dan hidup bahagia. Ya berkat mawar”

“ oh pantas saja baju bapak bergambar mawar "

“ njeh ..Aku pesan khusus nak. Dua kaos, yang satu lagi dipakai putriku, kupersembahkan kaos itu untuknya”

Rasa herannya semakin menjadi. Sempat Ia berniat untuk bertanya lebih dalam kepada si bapak. Tapi Ia pikir apa pentingnya si bapak yang menjadi aneh itu, di zaman seperti ini dengan segudang mawar pun wanita lebih memilih selembar cek berisi jumlah nominal uang. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan aneh  itu. Rokok dilempar. Asap nikotin Ia hela dan hembus untuk terakhir kali, berharap itu semua menjadi penutup perbincangan dengan bapak itu. Harapan itu hampir kandas, sebab tiba-tiba.

"Air nak?”

“Terimakasih, saya ada pak”

Untuk  hal ini otaknya sudah terdoktrin supaya berterima kasih atau menolak dengan halus. Ia pernah menyimak berita di tv tentang pembiusan di kereta atau bis, karena menerima air minum dari orang asing yang kebetulan duduk  berdekatan lalu korban tertidur dan pelaku bebas merampas apapun  yang dimiliki korban. Pun mereka mendiam kembali.

Tak lama kemudian Ia menatap arloji. Jarum yang terdapat di dalam jam tangannya diam tepat di hadapan angka satu. Jarum itu terlihat bertumpuk dengan satu jarum lagi yang sedikit lebih panjang. Sedangkan jarum yang paling tipis dibanding ke dua jarum itu masih asik berjalan-jalan mengelilingi angka-angka yang mematung di tepi.

Di karcis kereta yang Ia simpan pada selipan dompet tertulis kereta tiba pukul 14.30. Sekilas Ia berhayal tubuhnya dapat mengecil, lalu masuk ke dalam jam tangan itu untuk sekedar memaksa jarum tertipis tersebut agar berjalan lebih cepat.

Perutnya mulai berasa lapar. Seketika Ia beranjak dari bangku gandeng dan meninggalkan bapak di sebalahnya itu tanpa memberi salam perpisahan basa-basi. Ia mencari sesuatu yang dapat diberikan pada perutnya yang tambun itu. Pantauan matanya melandas pada seorang ‘ibu’ berkain batik yang berselonjor pada tepian peron. Ibu itu menjajakan makanan khas kota ini.

“ nasi gudeknya satu bu”

Dengan dialek yang medok si Ibu melayani, menyodorkan bangku plastik ukuran kecil berwarna hijau, semacam yang biasa digunakan ibu-ibu ketika mencuci baju. Ia santap dengan lahap nasi gudek yang disajikan dengan piring plastik berlapis daun pisang dan sendok plastik yang bergeletak cantik di atasnya. Tiba-tiba suara raungan kereta terdengar menggelegar. Kereta tersebut berada di ujung rel, Ia hanya dapat melihat kepala kereta tersebut mendekat. Ia bertanya pada ibu penjual nasi gudek.

“Kereta dari mana bu?”

“dari bandung mas”

Kereta dari bandung. Matanya langsung terpusat pada si bapak di bangku gandeng tempat tunggu tadi. Sekarang bapak itu berdiri dan celingak-celinguk pada sekitar kereta yang lajunya semakin lamban. Nasi di atas sendok sejenak diacuhkan, Ia pantau bapak itu untuk menebus rasa penasarannya. Tapi bapak itu tidak kunjung menemukan putrinya, hingga lambat laun bapak itu tenggelam dalam wara-wiri orang-orang, dan berlalu entah kemana. Seketika Ia melahap nasi dengan lebih cepat dari sebelumnya, dengan niatan ingin membuntuti si bapak.

”pelan-pelan saja mas ,, ojo mikiri orang itu”

”Loh?! Bagaimana ibu bisa tahu!?”

Rupanya ibu penjual nasi gudek itu sudah memperhatikannya sejak tadi. Tanpa dipinta  si ibu langsung bercerita tentang bapak itu.

“Sudah setahun lebih, tiap seminggu sekali Jarwo  duduk di sana”

“Menunggu anaknya ?”

“njeh mas. Tapi nda pernah ketemu”

“Maksudnya?”

Ia semakin bingung tak habis pikir mendengarkan cerita si ibu nasi yang mengaku tetangga si bapak tersebut.

“ Putri karo bojonya Jarwo itu di jakarta”

“Jakarta?”

“ Bojonya.. minta pisah. terus pindah ke jakarta nikah lagi.”

‘”Oh jadi ....”

“ Istrinya kawin sama wong sugih.orang kaya mas, wong jarwo cuma pedagang bunga. Jarwo pernah ke jakarta nyusul istri dan anaknya, tapi balik dari sana ndelalah malah edan”

Ia tersedak mendengar ucapan ibu nasi.

“ Tapi anaknya itu benar kuliah di bandung bu?”

“njeh. tapi itu dulu.. wes dua tahunan yang lalu. Sekarang ya nda tau ”

Ia sudahi makannya. Diletakan piring plastik juga bakwan yang tinggal separuh di atasnya. Setelah membayar, Ia menunggu kereta yang sudah tidak lama lagi tiba. Bangku tunggu itu sudah penuh. Tidak ada lagi bapak topi kodok di sana, hanya sekumpulan orang yang tidak Ia kenal yang sedang menanti kereta atau mungkin menanti orang yang mereka cintai tiba.

 Kereta yang ditunggunya pun tiba. Ia sambut dengan rasa lega dan gembira, duduk bersandar di kursi kereta menghela nafas kemudian melayangkan pikirannya. Tak lama kemudian suara raungan kereta terdengar, pun kereta melaju secara perlahan.

Ia masih larut dalam lamunan kali ini tentang bapak bertopi kodok. Sebuah keagungan cinta seorang ayah yang begitu malang, kenangnya. Lamunan itu membawanya pada kejadian lampau dalam hidupnya, yang selalu Ia tolak untuk mengingatnya kembali. Namun entah kenapa saat ini Ia kehilangan kuasa untuk menahan ingatan tentang kenangan itu. Pun dalam diam Ia mambatin..

Janur kuning, tenda biru dan sajian berbagai macam makanan adalah sampah yang berserakan di halaman rumahku. Ya! tidak lebih dari sampah, karena aku merasa kalau ibu masih hidup dan masih menyertai aku dan ayah. Entah dimana, mungkin di sudut kamar mandi, kamar tidur, ruang tamu atau di setiap sudut rumah. Aku masih merasaknnya dengan jelas. Tapi ayah tidak. Dia sangat lapang dada dan ikhlas menerima kematian ibu. Hingga dia sangat berdaya untuk menikah lagi dengan wanita yang sama sekali tidak pernah kukenal. Wanita yang tidak sedikit pun mirip dengan ibu. Wanita yang ayah kenal ketika dinas keluar kota. Wanita  yang sudah bukan gadis.

Gemuruh mesin kereta berbunyi kembali. Lamunannya buyar diguncang kereta yang semakin lekas lajunya. Beberapa jenak kemudian Ia tertidur...

***

Keluar dari stasiun, jakarta benar-benar menyambutnya dengan sempurna. Ya sangat sempurna. Betapa rindunya Ia dengan suasana seperti ini, kemacetan,pengemis di pinggir jalan, debu, dan masih banyak lagi. Rumah makan sederhana yang berada di seberang jalan stasiun itu menjadi tempat menunggunya, ayahnya akan menjemput seperti yang sudah mereka sepakati dalam komunikasi telepon genggam. Sudah satu piring nasi goreng dan satu gelas es teh habis Ia telan, namun ayahnya belum kunjung datang.

Hingga tiba-tiba seorang perempuan muda yang nampaknya seumuran dengan pelayan rumah makan itu datang membuka pintu rumah makan. Perempuan berambut panjang sedikit ikal itu melambaikan tangan untuknya, dan menegurnya dari muka pintu. Mengapa orang menyebalkan ini yang datang?!! dalam benak Ia bicara. Lantas  perempuan itu berjalan mendekatinya. Ia malah mematung di kursi makan seraya melototi gambar setangkai mawar merah pada kaos  perempuan itu. Kemudian mereka pun beradu dalam suatu percakapan kecil.

”Hei...apa yang sedang kau pikirkan ?! ayah dan ibu menunggu di mobil”

" aahh..baik baik..ee..baju milik siapa yang kau pakai itu  ?"

"Bicara apa kau ini...yang ada dibadanku ya milik siapa lagi kalau bukan punyaku?! Sudah ayo cepat "

" . . ....."

   21 April 2012  

 Marendra Agung 

TentangNaskah

Cerpen ini telah digubah ke dalam bentuk serial komik di majalah STOMATA ( seputar sastra dan lain lain) mulai dari edisi 8 oleh komikus muda Muhamad -Ridwan ( komunitas Tembok).

https://stomatarawamangun.wordpress.com/2015/01/17/seri-bapak-topi-kodok/ 

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun