Dan Wasikan, 1 orang dari 17,12 persen penduduk miskin di Gunung Kidul yang juga rentan mengakhiri hidup dengan cara yang tidak wajar itu.
***
Matahari pagi muncul dari belakang bukit tandus di depan rumah Wasikan. Wasikan bangun dengan punggung yang nyeri.
Setiap hari, Wasikan tidur hanya beralas kasur lipat yang tipisnya sudah menyerupai kardus mie instan pemberian Cyintia dan LKS Kedung Keris.
Wasikan sedikit bergegas menuju dapur yang dibangun terpisah dari tempatnya tidur. Berdinding tumpukan batu yang dia kumpulkan dari Kebun Kayu Putih. Di dapur, Wasikan harus duduk. Tinggi dapurnya tak lebih dari orang dewasa yang merunduk.
Batu-batunya sudah terlihat sangat tua dan kuat. Hitam dari hasil panas api tungku masak milik Wasikan. Pagi itu, Wasikan ingin memasak air. Ia ingin membuat teh panas sebelum pergi memetik daun kayu putih.
Di luar, angin berhembus tipis. Hembusan khas Gunung Kidul. Tak ada orang lain di kebun ini selain Wasikan. Hari itu, dia harus memanen daun kayu putih. Akan ada truk yang masuk kebun membawa daun-daun itu.
"Saya hanya bisa mengumpulkan 3 karung saja. Sudah tenaga tua," kata Wasikan, sambil berjalan meninggalkan rumahnya.
Sebelum memanen daun kayu putih, Wasikan sempatkan menuju sumber mata air satu-satunya yang tersisa. Letaknya di bekas aliran sungai yang mengering akibat musim kemarau yang berkepanjangan.
Ia mengambil air dengan ember yang tak sempurna. Menyiram lahan kacang tanah seluas 40 meter di tepi sungai.
"Ini juga saya jual. Sisanya untuk di rumah jika ada tamu," ucapnya. Tamu yang ia maksud adalah mandor-mandor kebun kayu putih yang numpang neduh di rumah Wasikan.