Pada topeng yang digunakan untuk menari (pertunjukan wayang topeng), topeng dibuat dengan ukuran normal, dengan ukuran wajar wajah manusia dewasa, karena memang untuk digunakan dalam pertunjukan wayang. Ukiran yang ada pada jambang, jamang, suping juga dibuat cukup detail. Detail pada ornamen (isen-isen) inilah yang membedakan topeng Malangan dengan topeng Jawa Tengah, topeng Malangan lebih kaya akan ornamen/ukiran. Kayu yang digunakan adalah kayu sengon, yang menurut Handaya cukup ringan dan mudah dibentuk, namun cukup tahan lama atau awet. Pada kualitas yang ketiga, topeng dengan pesanan dan fungsi khusus, topeng dibuat secara cermat dengan memperhatikan aspek isoterik dan eksoterik.
Pada topeng jenis ketiga ini, kayu sebagai bahan baku adalah kayu ringin/wit ringin, atau kayu pohon beringin. Kayu tersebut berasal dari sebuah pohon beringin tua yang tumbuh di petilasan leluhur desa Kedungmonggo, yang lokasinya tidak jauh dari sanggar Asmorobangun. Pada saat mengambil kayu di pohon tersebut tidak diperbolehkan menebang, melainkan mengambil kayu/ranting yang telah terjatuh ke tanah karena sebab-sebab tertentu oleh alam, bukan karena dipotong/ditebang oleh manusia, karena angin misalnya. Pada saat proses pembuatan topeng, seniman juga harus melakukan tirakat, seperti puasa mutih, ngebleng, patigeni, atau puasa penuh tanpa makan dan minum. Tidak heran proses pembuatan topeng jenis ini mampu memakan waktu berbulan-bulan, karena memang tidak diproses setiap hari, Handaya harus mencari “hari baik” untuk berpuasa, dan mengerjakan topengnya.
Perlakuan sedemikian rupa pada pra-penciptaan, dan pada saat proses penciptaa, dengan tidak hanya melibatkan fisik (tubuh), namun juga olah batin, dipercaya mampu menghasilkan topeng yang memiliki nilai isoterik. Ukiran yang terdapat pada hiasan dahi (padma, pakis, dll), jamang, dan sumping, dibuat cukup dalam, serta lebih kompleks ornamennya (isen-isen). Bahkan pada jenggot dan jambang, rambut dibuat/diukir satu persatu. Pada proses finishing, kebanyakan untuk topeng jenis ini tidak dilakukan pengecatan, sehingga yang terlihat adalah warna dan tekstur asli dari kayu pohon beringin, berwarna coklat gelap. Secara isoterik, topeng yang dibuat dengan proses sedemikian rupa, dipercaya memiliki kekuatan tertentu yang mampu menjauhkan seseorang, keluarga, atau rumah dari marabahaya. Misalkan pada topeng figur Totok Kerot dan Mahesa Sura, ketika difungsikan sebagai bagian dari elemen dekorasi rumah, dipercaya memiliki fungsi sebagai penolak bala, penolak santet, dan gangguan gaib lainnya, serta dipercaya dapat mendatangkan kesejahteraan, kelancaran rejeki bagi pemiliknya.
Aspek mistik-spiritual lainnya dari proses pembuatan topeng Malangan, yakni mengenai sosok figur-figur yang ada dalam topeng Malangan. Pada saat mbah Karimun wafat, beberapa figur/tokoh belum sempat “ter-rupa-kan” dalam bentuk topeng. Pakem struktur, gaya dan bentuk topeng Malangan, diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk topeng, dan tidak ada deskripsi tertulis mengenai pakem ataupun petunjuk teknis pembuatan topeng, selain tradisi lisan. Bedasarkan sifat atau karakter tokoh yang terdapat pada roman Panji, Handaya melakukan pendalaman terhadap suatu karakter/figur yang belum berbentuk topeng tersebut, dan kemudian melakukan meditasi hingga pada suatu titik ia mengalami peristiwa batin bertemu langsung dan berinteraksi dengan tokoh/figur tersebut.
Pengalaman spiritual Handaya ketika bertemu dengan figur-figur topeng Malangan ini, kemudian ia ekspresikan dalam bentuk topeng. Berdasarkan pengalaman spiritual itu pula Handaya meyakini bahwa figur-figur topeng Malangan ini memang benar-benar ada pada masa lalu, dengan kata lain topeng-topeng tersebut merupakan wajah-wajah leluhur. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa roh-roh leluhur, yang dikenal sebagai dhanyang, melindungi desa Kedungmonggo dari marabahaya, dan ikut menonton pertunjukan wayang topeng Malangan pada gebyak senen legian. Memang beberapa hal menyangkut mistik dan spiritual di atas tidak dapat dibuktikan secara empiris maupunrasional, namun hal ini mengekpresikan pandangan-pandangan spiritual seniman, yang kemudian diwujudkan pada karya seni yang diciptanya.
Dalam seni relijius (religious art), yang nampak pada artefak seni adalah ekspresi ide kolektif tentang relasi manusia dengan keilahian (Tuhan), yang terkadang merasuk kedalam upaya spiritual seorang seniman. Seni relijius menceritakan kisah suci, memerintahkan perilaku yang benar, atau berusaha untuk menguatkankeimanan, namun upaya spiritual seniman berusaha menjadi “wahyu ilahi” di alam manusia dan di dunia (Feldman, 1967:24). Spiritualitas merupakan aspek mental, yang sangat berbeda dengan aspek material, yang lebih spesifik, subyektif, atau sangat personal sifatnya. Proses penciptaan topeng Malangan oleh Handaya, sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman spiritual yang sangat personal.
2.Topeng Dhalang Madhura
Di Madura sejak lama dikenal “Topeng Dhalang” (Topeng Dheleng). Diperkirakan pertunjukan ini sudah dikenal sejak abad XV – XVI. Pertunjukan Topeng memainkan karakter tokoh tertentu, baik yang halus, kasar, gagah, lembut, licik, buas, lucu, dan sebagainya.