DAFTAR PUSTAKA
.................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Topeng adalah benda yang dipakai di atas wajah. Biasanya topeng dipakai untuk mengiringi musik kesenian daerah. Topeng di kesenian daerah umumnya untuk menghormati sesembahan atau memperjelas watak dalam mengiringi kesenian. Bentuk topeng bermacam-macam ada yang menggambarkan watak marah, ada yang menggambarkan lembut, dan adapula yang menggambarkan kebijaksanaan.
Topeng telah ada di Indonesia sejak zaman prasejarah. Secara luas digunakan dalam tari topeng yang menjadi bagian dari upacara adat atau penceritaan kembali cerita-cerita kuno dari para leluhur. Diyakini bahwa topeng berkaitan erat dengan roh-roh leluhur yang dianggap sebagai interpretasi dewa-dewa. Pada beberapa suku, topeng masih menghiasi berbagai kegiatan seni dan adat sehari-hari. Beberapa topeng di Indonesia pun digunakan sebagai hiasan di dalam rumah atau di luar rumah.
B. Tujuan
Tujuan pembuatan kajian ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui Sejarah Topeng
- Untuk mendeskripsikan dan menganalisis penggambaran karakter Topeng
C. Manfaat
Menambah sumber kepustakaan yang dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan kajian bagi kaum akademisi mengenai Topeng.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Topeng
Topeng merupakan suatu benda yang digunakan untuk menutupi wajah sebagai cara untuk mengkamuflase wajah asli sehingga tidak dikenali. Selaras dengan apa disampaikan oleh Suryaatmadja (1980, hlm. 43), “Sebutan lain terhadap topeng yaitu kedok yang asal katanya diperkirakan berarti pelumas, yaitu berupa pupur atau cat yang dipergunakan untuk melumas muka agar tidak dikenal”. Berkaitan dengan pertunjukan, sebenarnya sangat sulit untuk mendefinisikan pengertian topeng, karena topeng terkadang memiliki pengertian yang sempit dan sebaliknya meluas. Seperti yang dijelaskan Suanda (2013, hlm. 3), “Pertunjukan yang memakai topeng seperti wayang wong di Yogyakarta dan di Bali, tidak disebut topeng. Sebaliknya, pertunjukan yang tidak memakai topeng seperti yang sekarang terdapat di sekitar Betawi dan Banten, justru disebut topeng. Artinya, tidak semua pertunjukan bertopeng disebut topeng”.
Hazeu (dalam Suryaatmadja, 1980, hlm. 45) memberi pengertian lain yang lebih spesifik terhadap topeng bawa topeng adalah suatu pertunjukan dimana pria dan wanita tampil mengenakan topeng (masker) di mukanya dengan mengenakan pakaian tertentu (penutup kepala khusus, perhiasan, dan sebagainya), seraya memerankan orang-orang tertentu, kadang-kadang juga binatang. Pengertian tersebut tercetus karena pada zaman dahulu, topeng sejatinya digunakan dalam pertunjukan, khususnya dalam ritual keagamaan. Di daerah-daerah yang penduduknya masih menganut kepercayaan Indonesia asli dan berpusat pada pemujaan nenek moyang, upacara pemanggilan roh nenek moyang diadakan dengan pertunjukan topeng. Sementara itu di beberapa daerah lain yang sudah dipengaruhi ajaran Islam, pertunjukan topeng untuk hal tersebut sudah jarang bahkan hilang. Seiring berjalannya waktu, pertunjukan topeng berubah sifat menjadi bentuk yang lebih sekuler seperti untuk memerankan tokoh tertentu dalam sebuah lakon. Hal ini sejalan dengan pernyataan Borguignon (dalam Murgiyanto, 2004, hlm. 19), “Topeng pada mulanya dikenal untuk menyembunyikan identitas asli pemakainya dan bukan untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu sebuah lakon”.
Perubahan bentuk pertunjukan topeng dari yang bersifat sakral menjadi lebih sekuler dimulai ketika cerita Panji yang ditulis pada zaman raja-raja Hindu-Jawa abad ke XIV mulai digunakan sebagai tema lakon. Di Indonesia, khususnya di Jawa, Sunan Kalijaga dianggap sebagai orang yang pertama kali menciptakan pertunjukan topeng berdasarkan cerita Panji. “Berdasarkan tradisi Jawa, pertunjukan topeng diciptakan oleh Sunan Kalijaga, putra bupati Tuban yang gemar kesenian dan akhirnya menjadi wali penyebar agama Islam di Pulai Jawa” (Murgiyanto, 2004, hlm. 20). Selanjutnya, Murgiyanto.
Tari Topeng atau Wayang Topeng merupakan dramatari yang menceritakan tentang roman Panji. Roman atau Cerita Panji merupakan karya sastra klasik yang cukup dikenal luas oleh masyarakat Jawa, Indonesia, bahkan Asia Tenggara, disamping cerita Ramayana dan Mahabarata. Sebagai karya sastra klasik, cerita ini ditransformasikan ke dalam berbagai karya baru seni dan budaya (Manuaba dkk, 2013:53). Secara historis, Cerita Panji muncul pada tengah pertama abad ke-13, pada masa kerajaan Singosari, namun Winarno & Widyatmoko (1998:241) menyebutkan bahwa seni topeng diperkirakan sudah muncul sejak zaman kerajaan Kediri pada abad ke-12, dan berkembang mulai zaman keemasan kerajaan Majapahit. Relief Candi Penataran yang dibangun pada tahun 1369 yang menggambarkan adegan Panji Kartala oleh Panakawan Prasanta setidaknya dapat menjadi bukti bahwa Cerita Panji sudah populer di Jawa Timur pada abad ke-14 (Sumaryono, 2011:18).
Sesuai dengan bentuknya, Tari Topeng atau Wayang Topeng, menggunakan topeng sebagai salah satu properti dalam pertunjukannya. Sebagai karya seni rupa yang berdiri sendiri, tentunya ia memiliki nilai estetik. Nilai adalah ukuran derajat tinggi-rendah atau kadar yang dapat diperhatikan, diteliti atau dihayati dalam berbagai obyek yang bersifat fisik (kongkret) maupun abstrak. Immanuel Kant (dalam Kartika, 2004:22-23) membagi dua macam nilai estetik, 1) Nilai estetik atau nilai murni, dan 2) Nilai ekstra estetik atau nilai tambahan. Nilai estetik murni, disebut juga sebagai nilai intra-estetik, atau estetik intrinsik, adalah keindahan murni atau nilai estetik yang terdapat pada garis, bentuk, warna, dalam obyek seni rupa. Nilai ekstra estetis, disebut juga sebagai estetik ekstrinsik adalah nilai tambahan setelah nilai murni, dapat berupa bentuk-bentuk manusia, hewan, tumbuhan, makna filsafati pada simbol-simbol seni (nilai makna), dan lain sebagainya. (2004, hlm. 20) menerangkan tentang penggunaan lakon pada topeng oleh Sunan Kalijaga sebagai berikut.
B. Sejarah Topeng di Jawa Timur
Cerita klasik Ramayana dan cerita Panji yang berkembang sejak ratusan tahun lalu menjadi inspirasi utama dalam penciptaan topeng di Jawa. Topeng-topeng di Jawa dibuat untuk pementasan sendratari yang menceritakan kisah-kisah klasik tersebut. Kesenian berbasis Topeng di Jawa Timur. Setiap daerah memiliki karakter topeng yang unik. Seni Topeng Ponorogo dengan penari Reog menggunakan Topeng Barongan yang beratnya bisa 50 kg di kepala dengan mengandalkan kekuatan gigi, menggambarkan sosok Harimau yang pemberani.