Mohon tunggu...
djeng sri
djeng sri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - penuliscerita dan freelancer menulis

suka fotografi dan fiksi ;)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber 2] Akulah Sang Iblis

23 November 2015   08:03 Diperbarui: 23 November 2015   10:41 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="copyright by bowobagus'p"][/caption]Akulah sang iblis

djeng Sri, no. 5

 

“Ah ibu, ayah, jangan, jangan, jangan!”

“Ha ha ha ha! Di, jangan sampai lepas ya? Pegang erat-erat dia!”

“Aduh aduh tolong jangan....”

.

Semilir angin yang bisu,

tataplah mataku

biar noda tak bercela,

ikatlah sukmaku

.

“Jangan! Jangan! Tolong..”

“Ha ha ha ha”

Aku tak berdaya, terbaring lemah diantara dua kaki kekar yang meniupkan langgam-langgam indah berbau cinta. Sebenarnya aku suka, senang sekali dengan langgam, lagu, syair, atau apa pun yang dua lelaki itu tiupkan lewat tengah malam di depan mata, hanya saja...

“Ha ha ha ha”

“Heh? Kenapa kau Ma?” Lelaki yang memegangku erat nampak heran dengan perubahan cepat pada mimik muka dan sikapku, sedang ia yang sedang mempersiapkan dirinya untuk memuaskan nafsunya terhenti aktivitasnya, membuka celana!

.

onak duri,

rempah beragi

dimana engkau lelaki yang kucari?

Dengar, sumpah mati sang permaisuri,

seakan bilah-bilah belati yang berlari kemari

.

“Apa?”

“Kau, kau, kau, siapa kau sebenarnya M.. Ma?” si banci yang kolornya jatuh terkejut bukan main. Langgam-langgam cinta semakin keras kunyanyikan, bersama dengan angin-angin malam yang datang cepat, mendengung, mengambil suara latar, dan memberi kekuatan padaku untuk menjadi penyaji, bukan pesakitan yang hampir mati!

“Ha ha ha ha”

“Ha ha ha ha”

“J j jangan Ma, ampun Ma, jangan,” dokter Saldi berlutut dan menundukkan wajahnya, menghiba-hiba padaku, sedangkan si lurah brengsek sudah terbaring tak sadar sambil basah celananya, tak sanggup menahan kekuatanku.

.

O domba domba di padang sabana

ijinkan aku menarik dawai sang dewa

malam ini bukan nanti

kuingin menjadi iblis atas dua lelaki

.

“Ha ha ha ha”

“Ha ha ha ha”

“J j jangan Ma, ampun Ma, jangan”

“Ha ha ha ha”

Si banci dokter sudah kencing di celana? Ha ha ha! aku tertawa keras melihatnya yang memegang ujung kakiku memohon ampun sambil terkencing-kencing. Inilah malam ketigabelas, Jumat Kliwon-kata orang Jawa, malam dimana aku akan merasa sangat haus, sangat ingin mereguk cinta dari lelaki-lelaki yang selalu ingin memperkosaku!

“Rasakan! Inilah yang terakhir untukmu banci! Ha ha ha,” aku mengerjainya lalu mencampakkannya di ujung ruangan, berganti dengan si lurah bangsat, hingga puaslah iblis dalam diriku.

.

malam yang kelam

sudah puaslah hamba bersantap makan

kiranya dikau sedia menyarukan,

inilah dua manusia agar kau sirnakan

.

“Ah” Aku memejamkan mata sambil mengucap langgam-langgam cinta. Puja-puji pada sang malam yang kukehendaki untuk menyingkirkan dua lelaki pemuasa nafsu yang sudah kuambil penisnya.

“Ahh” lega rasanya, dua bangsat sudah mati, pun dua kelamin sudah terkirim oleh malam kepada istri-istri mereka masing-masing, yang pasti akan berteriak histeris menerima kenyataan bahwa kekasih mereka telah mati!

“Ha ha ha ha” aku tertawa sebelum pura-pura tidur nyenyak, karena....

“Ma!” ya, suara mbok Minah membangunkanku, mengguncang-guncangkan badanku

“Sukma! Bangun nak,”

“Ehhmmm iya mbok, ada apa, masih pagi benar, kenapa mbok kemari?”

“Pak dokter yang memeriksamu kemarin dan... pak lurah.. meninggal Ma”

“Hah?” aku pura-pura terkejut

“Iya, d d dan anehnya mereka ditemukan terkapar penuh luka di pekuburan, tanpa kelamin...”

“K k kau baik-baik saja nak?”

“Hah?” aku pura-pura ketakutan, memeluk lengan mbok Minah

“Mbok...”

“Ssst... sudah jangan takut ya, mbok tahu, tapi, hari ketigabelas sudah berlalu, semoga esok hari semua bisa tenang kembali”

“Mbok...”

“Sebentar ya, mbok buatkan teh hangat untukmu”

.

Semilir angin yang bisu,

tataplah mataku

biar noda tak bercela,

ikatlah sukmaku

Semilir angin yang bisu,

tataplah mataku

biar noda tak bercela,

ikatlah sukmaku

Semilir angin yang bisu,

tataplah mataku

biar noda tak bercela,

ikatlah sukmaku

.

“Hah? Kau kau... senandung apa itu ma?”

 

Aku menggamit angin,

menyaru pisau,

lalu melemparkannya kuat-kuat...

 

 

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju ke sini, akun Fiksiana Community 

 

 

Mrican, Jogja, 23 Nopember 2015

djeng sri

fiksi

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun