Dan keyakinan itu semakin kuat setelah kami berhasil berkomunikasi dengan Pak P, suami Bu Vn. Kami menjadi iba melihat wajah yang memancarkan cahaya kebaikan pun adalah korban dari seorang wanita yang telah ia putuskan menjadi pendamping hidup. Sebagaimana yang saya sering dengar ikrar di berbagai pernikahan umat nasrani, janji-janji untuk sehidup semati. Janji setia untuk selalu sedia dalam suka dan duka, sakit dan sehat itu segera saja menularkan rasa prihatin mendalam terhadapnya.
”PR sebelum tidur. Vn adalah : perempuan yang biasa bohong, tidak takut sama siapa pun, termasuk Tuhan. Tidak takut sama suaminya, suka banget dapet perhatian dari laki-laki, sudah berhasil menipu banyak orang”, BBM Bu Ayi di grup bertajuk ”NEWS” yang dikirimkan Kamis malam, jam 22.54 itu saya baca dengan bulu roma bergidik ngeri.
Tak satu komentar pun saya tulis di sana selain ucapan diri ”Astaghfirullah...Nauzubillah...Lindungi kami ya Allah....”
Sabtu pagi, sebuah sms bernada ancaman terpaksa kami layangkan pada pendeta muda yang adalah korban juga. Ada rasa tidak tega sebenarnya, tapi urusan hati harus kami kesampingkan terlebih dulu untuk misi yang lebih besar.
Bahwa jika Jumat ini si hitam tidak dikembalikan, maka kami harus mencari keadilan ke petinggi gereja tempat beliau bekerja.
Berurusan ke polisi menjadi pilihan terakhir, karena ada hal administrasi yang menjadi kendala. Yaitu kontrak dengan periode 1 tahun itu harus direvisi terlebih dahulu. Jerat hukum tak dapat dikenakan kepada yang bersangkutan dengan mudah tanpa itu.
Ju’mat malam adalah hari penuh ketegangan. Bu Ayi dikawal 3 orang team laki-laki kami berangkat ke Bogor untuk menemui Vn dan suaminya.
Vn masih bernegoisasi untuk mengembalikan Selasa depan, tapi permohonan itu tak kami setujui. Terlalu lelah dan banyak energi terbuang hanya untuk memercayai serigala berbulu domba itu.
Ada rasa khawatir dan cemas yang amat menyelimuti. Saya jelas mengkhawatirkan keselamatan teman-teman itu. Banyak hal di luar dugaan yang bisa terjadi. Ditambah kabar bahwa si Vn membawa seorang ”dukun” di dalam proses negoisasi itu.
Bersegera kuambil air wudhu lalu kuraih sebuah kitab yang menjadi teman setia di pagi dan malam hari. Kali itu, kupilih salah satu surat favoritku ; Ar-Rahman. Ya, hanya itu yang bisa dilakukan. Menyusul teman-teman juga bukan solusi, karena toh aku lebih awam dalam soal medan di kota itu.
Kumohonkan curahan belas kasihNya malam itu dengan sepenuh kerendahan. Kutitipkan keselamatan dan kelancaran urusan teman-teman hanya kepada Sang Segala Maha.