Karena Nurcholish terpilih lagi sebagai Ketua HMI periode berikutnya, kesibukan sangat tinggi dengan berbagai tugas, Nurcholish tidak bekerja. Ia hanya menulis di berbagai media, yang honornya tidak cukup untuk kehidupan sehari-hari keluarganya.Untungnya ia masih mendapat bantuan beras dan kebutuhan pokok setiap bulan, sebagaimana yang diterima oleh para aktivis pergerakan yang dianggap bekerja untuk umat sehingga tak sempat mencari nafkah.
Rencana Transmigrasi
Kehidupan sehari-hari dengan penuh keserhanaan membuat Nurcholis dan Omi tidak terlalu risau masalah uang. Tapi saat Nadia, yang baru berusia 1 tahun sakit panas dan harus berobat, mereka tidak memiliki uang. Omi mengumpulkan botol bekas dan koran lalu dijualnya untuk berobat dan sisanya untuk membeli telor buat Nadia.
Peristiwa itu sungguh-sungguh menjadi pukulan bagi Nurcholish dan ia bertekad untuk memperbaiki hidup dengan mengajak keluarganya bertransmigrasi.
”Setelah usai tugas di HMI, kita ke Sumatera Ma, Papa di sana bisa bertani sambil mengajar” ujarnya pada sang istri. Saat itu Nurcholish sudah menjadi tokoh nasional.
Wajah dan pendapatnya selalu menghiasi media masa, karena pidatonya pada 2 Januari 1970 di acara Halal bi halal organisasi-organisasi Islam tentang pembaruan pemikiran Islam yang menggemparkan itu.
”Kita bertahan dulu, siapa tahu nanti keadaan membaik” demikian Omi menyampaikan ketidaksetujuan usul Nurcholish untuk bertransmigrasi.
Mereka tinggal di rumah pinjaman itu hingga 4 tahun, setelah anak keduanya lahir. Saat rumahi itu mau dipakai pemiliknya, mereka pindah ke rumah kontrakan di Tebet dengan diberi pesangon oleh Hartono.
Di belakang hari, mereka menyesal memilih rumah kontrakan kecil itu, karena kondisinya ternyata lembab, sumpek sehingga Nadia dan Mikail sering jatuh sakit.
Saat koleganya Utomo Danajaya bertandang ke rumah itu, Utomo terperanjat melihat kondisi rumah ”Ya Allah, Cak...ente nggak pantes tinggal di sini. Mestinya orang seperti ente ini ada yang mikirin” ujarnya geram.
Perjalanan yang Menentukan