mawar Dari M A W A R?
Anda telah menyebut nama itu: pergi,
dan carilah yang empunya nama, Bulan itu
di langit, bukan di dalam air.
Demikian Rumi mengajarkan kepada kita tentang bagaimana menulis dan menggunakan huruf dan kata sebagai sebuah perlambang. Jelas Din juga pernah membaca syair-syair yang ditulis oleh Rumi. Bahkan ia menulis satu sajak yang khusus ditujukannya kepada penyair Sufi dari Persia tersebut yang diberinya judul "Rumi". Dan di lain hal, sajak Din yang berjudul "Mawar" ini telah berhasil menarik perhatian saya sebagai pembaca untuk mencari tahu mawar yang mana yang dimaksudkan oleh Din dalam sajaknya itu. Apakah telah terjadi sebuah proses yang dalam ilmu sastra kita sebut sebagai peristiwa intertekstualitas dalam karyanya.
Baris /sekuntum mawar/batangnya alif/daunnya lam/kelompaknya mim/ dalam sajak Din di atas memperlihatkan kemampuan individual seorang penyair yang berhasil menggabungkan pengetahuan seorang penyair terhadap susunan huruf Hijaiyah dalam Al-quran menjadi metaphor dalam sajaknya. Huruf Alif dalam urutan Hijaiyah merupakan huruf awal yang menyiratkan kebenaran, kelurusan, keteguhan, dan juga sebuah arah yang menuju kepada Arrasy 'langit' (Tuhan). Huruf Lam merupakan huruf ke 23 dalam susunan Hijaiyah dapat dibaca sebagai penanda huruf konsonan. Sedangkan mim merupakan susunan huruf ke 24 dan jika digabungkan ketiga huruf Hijaiyah [ Alif, Lam, dan Mim ] dapat dibaca sebagai [alam] atau [ilmu] yang memberi makna yang lebih tinggi pada kata mawar yang mekar dalam hati sang aku lirik dalam sajak Mawar di atas.
Kosmologi ketuhanan jelas mendasari Din memilih metaphor huruf Hijaiyah dalam sajaknya di atas sebagai wujud pengejawantahan mengingat Tugan tadi (zikir) yang akan kita bahas lebih jauh berikut ini.
Â
Makna Dzikir dalam Antologi Sajak Din Saja
Dua narasi besar yang menjadi tema dalam sajak Din seperti yang sudah disinggung di atas yakni tema pertikaian sosial dan politik dan bencana alam Tsunami yang melanda Aceh ternyata merupakan sajak yang banyak mendapat sorotan dalam antologi sajak ini. Kita dapat membacanya dalam sajak-sajak Din yang berjudul "Siapakah", "Catatan Sembilanpuluhdua", "Meulaboh", "Catatan Tanah Kelahiran", "Sebuah Episode Kontekstual", "Kepada Tanah Kelahiran", "In Memoriam (1)", "Ode Buat Teungku Bantaqiah", "Serambi Mekkah", "Aceh Dalam Bahaya," "Kebangkitan", "Jerit Seorang Demonstran (kepada kautsar)", "Antropologi Cinta Aku Indonesia dan Aceh".
Dua narasi besar yang dominan dalam sajaknya itu memperlihatkan dia sebagai seorang penyair yang moralis. Ia konsisten membicarakan nilai-nilai moral yang diyakininya sebagai kebenaran, kritik tajamnya kepada penguasa yang banyak menyengsarakan rakyat, tak kira penguasa yang dimaksudnya adalah GAM maupun Pemerintah Pusat dalam praktiknya ternyata banyak melanggar hak rakyat Aceh.