Â
Dua Narasi Besar dalam Sajak Din Saja
Dua peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Aceh dialami oleh Din ketika ia menetap di Banda Aceh. Pertama adalah pertikaian antara GAM Dan Pemerintah Pusat dan kedua adalah bencana tsunami yang melanda Aceh tahun 2004. Kedua peristiwa bersejarah itu menjadi faktor penggerak bagi Din menulis sajak. Sajak-sajkanya sangat dipengaruhi oleh peristiswa sosial budaya dan politik yang pernah terjadi di Aceh pada masa itu. Ada orang yang menulis memoir untuk merekam dan mencatat peristiwa yang dianggapnya penting dalam hidupnya, atau biografi, tetapi Din memilih menulis sajak. Oleh sebab itu sajak-sajak Din memuat segala kesan, pesan, dan keprihatinannya terhadap situasi yang terjadi di Aceh sebelum perjanjian perdamaian antara GAM dan Pemerintah Pusat.
Di sisi lain, menulis sajak bagi Din pada masa itu juga merupakan salah satu bentuk perlawanan (silent resistensi) dan protes atas ketidakadilan yang terjadi secara kasat mata di hadapannya. Melalui sajak-sajaknya Din mecoba melakukan sebuah trauma healing' terapi pribadi' yang mungkin disadari atau tidak oleh penyair. Dan menulis sajak juga membantunya bertahan dalam situasi yang teramat menekan secara psikologis akibat berbagai peristiwa mencekam, tragedi kemanusiaan yang terjadi silih berganti di sekelilingnya. Ibarat wartawan, ia mengamati dan mencatat peristiwa demi peristiwa yang terjadi itu sehingga lahirlah sajak-sajaknya yang berkisah tentang anak yang kehilangan Bapak, suami yang kematian istri, dan orang-orang yang mati kena tembak, diciduk, dan dibunuh di dalam rumahnya, atau kematian tokoh masyarakat seperti Teungku Bantaqiah.
Orang-orang saling hidup dalam kecurigaan, tentara mencurigai warga sipil, warga sipil tidak memiliki kepercayaan kepada tentara, dan GAM yang bisa saja menjadi pahlawan sekaligus pembunuh saudaranya sendiri. Dua peristiwa penting yang melanda Aceh itu telah melahirkan berbagai trauma psikologis dan sosiologis yang disebut oleh Din sebagai luka yang tak tersembuhkan. Mari kita perhatikan kutipan sajaknya yang menggambarkan situasi yang penuh ketidakpastian di Aceh pada suatu masa itu.
Â
Aceh Dalam Bahaya
setiap hari ada saja orang-orang memikul keranda
mengusungnya kedalam kuburan yang dangkal
dengan hati yang cemas tanpa do'a dan tabur bunga
karena setiap nyawa sangat berharga