Mohon tunggu...
din saja
din saja Mohon Tunggu... Seniman - tamat smp

suling pun bukan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makna Zikir Dalam Antologi Sajak Namaku Zikir

29 September 2024   10:31 Diperbarui: 29 September 2024   11:19 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

setiap orang kini menyimpan dendam

untuk suatu ketika tumpah menjadi darah

lalu apa arti kehidupan berbangsa dan bernegara

lalu apa arti kebersamaan dan kasih-sayang

Seperti masyarakat Aceh lainnya, Din Saja juga telah menjadi saksi sejarah berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di sana. Kematian-demi kematian menjadi pemandangan sehari-hari di sana sehingga untuk menguburkan sebuah nyawapun kadang hanya diperlukan sebuah kuburan yang dangkal. Dua peristiwa itu yakni pertikaian sosial-politik, dan bencana alam dahsyat telah meninggalkan luka yang dalam bagi masyarakat Aceh dan Indonesia. Berangkat dari luka itu Din kemudian menjadikannya sebagai batu ujian untuk terus bertahan atau kalah dalam 'peperangan' batin itu. Sebagai manusia dan penyair ia memilih untuk menghadapi luka psikologis itu dengan menuliskan semua kepedihan itu dalam sajaknya sebagaimana yang disampaikannya dalam kutipan ini.

"Puisi-puisi yang aku tulis, sejak tahun 1990 sampai sekarang, adalah puisi-puisi yang mengisahkan tentang realitas hidup yang terjadi di tempat mana aku hidup. Untuk saat ini, aku hidup di negeri Aceh, tanah tumpah darahku, tanah kelahiran dan kuburan ibuku, yang senantiasa telah mendapat kezaliman dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Aceh adalah negeri yang telah dinodai oleh ambisi dan keserakahan manusia dari berbagai latar belakang kehidupan. Tanah Aceh adalah tanah yang telah "diperkosa" atas nama Tuhan, untuk sebuah kepentingan keserakahan. Untuk itu, untuk sebuah "perlawanan" terhadap kezaliman, aku menulis puisi-puisi untuk sebuah catatan, sebuah kisah, tentang Aceh."

Dalam kutipan di atas jelas tujuan dan maksud Din menulis puisi adalah sebagai 'dokumen sejarah' pribadi yang mencoba menggambarkan realitas yang dilihatnya menjadi realitas yang lain dalam sajaknya. Dengan demikian sajaknya merupakan sebuah proses mimesis dari realitas 'kehidupan'. Plato dan Aristoteles menyebutkan bahwa sebuah karya sastra seperti puisi lahir dari dunia pengalaman, meski karya itu kemudian tidak akan melahirkan realitas yang sesungguhnya melainkan hanya sebuah peniruan.

Dengan demikian secara hierarkis karya seni seperti sajak Din berada di bawah kenyataan. Pandangan bahwa seni berada di bawah kenyataan ini kemudian ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai catharsis. Di samping itu juga karya seni menurut Aristoteles juga berusaha membangun dunianya sendiri, (Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna, 2004:70). Dengan mengacu kepada pendapat Aristoteles di atas, saya juga membaca bahwa menulis sajak bagi Din adalah sebuah pencapaian katarsis sebagaimana telah disinggung di atas bahwa menulis sajak sebagai upaya therapy healing dalam mengobati luka psikologis, sosiologis, dan politis yang dilakukan oleh Din saja.

Secara psikologis sajak-sajak ini merupakan obat menenangkan jiwanya, secara sosiologis, puisi adalah alat untuk mengabarkan eksistensi dan resistensi individual seorang penyair, dan secara politis sajak adalah alat untuk menyampaikan ideologi politik yang diyakininya yakni menolak segala bentuk kezaliman yang dilakukan oleh berbagai kalangan, kelompok, partai, dan penguasa di bumi Aceh. Ia menolak sikap negara, kelompok, dan golongan yang sering mengatasnamakan rakyat ternyata banyak menghasilkan penindasan kepada rakyat itu sendiri.

Perlawanan melalui sajak seperti yang dilakukan oleh Din sudah sangat banyak dilakukan oleh seorang penyair di dunia seperti perlawanan yang dilakukan oleh Jose Rizal dari Filipina, para penyair eksil Indonesia, Gabriel Garcia Marquez, Ws, Rendra, hingga perlawanan yang dilakukan oleh seorang buruh Indonesia yang akhirnya menjadi martir yakni Wiji Thukul.

Gagasan penulisan sajak yang bersumber pada realitas ini kemudian melahirkan sajak pamflet yang dulu pernah ditulis oleh WS. Rendra tahun 70-an-80-an. Kelemahan sajak-sajak dengan gagasan tema besar seperti itu cenderung melahirkan sajak yang miskin dengan permainan metafora dan personifikasi karena yang dikejar adalah penggambaran yang mendekati realitas tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun