Matahari nyaris menjadi anak manja karena ia masih tergolong anak bontot, Susan adalah kakaknya yang paling cantik, dan mereka dua bersaudara yang cukup kompak. Susan yang sudah menikah, baru mempunyai anak satu dan suaminya adalah seorang Pengacara yang kondang.
Kalau dipikir-pikir, dan itu sering dijadikan candaan garing oleh Matahari, profesinya dengan Wawan sang Kakak Ipar, sebelas dua belas seperti dirinya.
"Profesi gue sama Bang Wawan kan sama, kak. Mirip. Sebelas dua belas lah," Matahari membuka candaan garing itu.
"Sama? pala lu bau menyan," ledek Susan yang paham kalau adiknya bercanda garing seperti itu, pasti ada maunya.
"Ya mending bau menyan lah daripada bau tokai," balas Matahari, "Lo nggak nanya, miripnya dimana?"
"Nggak, ngapain?" jawab Susan mematahkan impian Matahari supaya dapat punch line jokes.
"Gue jawab sendiri deh. Berita di TV kan kalo nyiarin peristiwa juga nggak pernah minta persetujuan penontonnya kan?" Matahari sampai segitunya pingin nge-jokes.
"Terserah lo," jawab Susan cuek.
"Gue kan Pengacara kondangan, pengangguran banyak acara yang sering kondangan," ucap Matahari pantang menyerah.
Krik..krik..krik.. kriukkkk...hening dan garing...
Susan pun memegang jidat Matahari, kemudian tangan yang bekas memegang jidat itu ditaruh di pantatnya.
"Jidat lo sama kayak pantat bohay gue, anget." Susan seperti puas meledek.
"Tapi kan beda bau," Matahari masih saja membalas dengan cerdas dan tangkas.
"Au ah, gelap."
"Katanya RA Kartini, Habis gelap terbitlah terang," jawab Matahari lagi.
Dengan bercanda, Susan mencopot sendal rumahnya,"Lu ngoceh lagi terbang nih,"
Matahari kabur ke dalam kamarnya, Susan tertawa. Tapi tak lama kemudian Matahari menyembulkan wajahnya di dinding kamar dengan wajah kocak.
"Hebat bisa terbang, punya sayap ya,"
Swiiinggg...wuuuuss....plak! Sendal mendarat indah di jidat Matahari.
Begitulah adik kakak ini, keharmonisan bagi mereka adalah dengan tak putus-putusnya bercanda setiap hari. Dan jika sudah bercanda, seperti tak ada batas, kadang membuat orang yang melihatnya sedikit was-was.
Sejak lulus SMA Matahari memang lebih nyaman tinggal bersama Susan yang sebenarnya tinggal tidak begitu jauh dengan perumahan tempat orang tuanya tinggal.
Matahari malas jika tinggal di rumah, Papanya selalu cerewet supaya dia meneruskan usaha bengkel motornya. Alasannya simpel, Matahari adalah anak lelaki semata wayang. Namanya anak laki pasti suka dan mengerti otomotif. Sungguh fitnah yang keji!
Nah, kalo mamanya lain lagi, Matahari malah disuruh meneruskan usaha cateringnya, alasannya pun absurd. Anak lelaki pasti doyan makan, maka pasti akrab dengan makanan.
"Ma, bener, aku bisa akrab dengan makanan. Saking akrabnya mereka kubiarkan menyatu ditubuhku..." ucap Matahari satir pada suatu waktu.
Jelas kan kalau masalah keakraban, tapi hubungannya apa antara tukang makan dengan menjalani bisnis makanan coba?
Padahal jelas, Susan sering membantu mamanya yang hanya punya dua karyawan, PRT nya Bik Tuti dan suaminya yang bagian antar dan mengirim makanan.
Jika tinggal di rumah Susan, bukan saja Matahari bisa bermalas-malasan, tapi bisa main dengan si Juwita, anak Susan yang masih balita dan lagi lucu-lucunya.
Selain itu, secara akademis, kuliah Matahari juga tak ada hubungannya sama sekali dengan bengkel dan kuliner. Matahari merupakan lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom).
Meski pada akhirnya Papa dan Mamanya selalu punya dalih atas sisi akademis Matahari, itu belum dari pekerjaannya yang lebih sering bergerak di dunia kreatif, terutamanya dunia tulis menulis.
"Komunikasi dan menulis itu kan pas sama usaha bengkel dan kuliner, Mat." tanya Papanya pada suatu ketika.
"Ya kalo semuanya di pas-pasin sih pasti ada, Pa. Tapi ini kan terkait sama passion aku,"
"Halah, passion. Hari gini kamu masih percaya passion itu dapat bikin kamu jadi kaya?" desak Papanya dengan pertanyaan.
"Mungkin nggak sekarang, Pa. Tapi nggak tau kalo nanti," pungkas Matahari.
Kadang Matahari bertanya dengan dirinya sendiri, setelah dia nongkrong bersama kawan-kawannya, di lewat tengah malam yang hening, mengapa generasi tua selalu berjarak dan berbeda pikiran. Ia belum menemukan jawaban yang pas, meski sudah ada beberapa anggapan, tapi ia belum bisa menyimpulkan dengan pasti.
Memang tak banyak yang tahu bahwa sesungguhnya Matahari ini adalah seorang over thinker, apa saja ia pikirkan. Dan dari yang sering dipikirkannya itu sertingkali diolahnya menjadi tulisan di komputer rumahnya, tanpa tahu semua itu ingin diapakan.Â
"Andai semua ini bisa gue terbitin, asyik kali ya?" batinnya beberapa kali berkata di berbagai kesempatannya merenung.
Namun ia tak pernah tahu caranya dan harus melakukan apa, yang penting ia kumpulkan saja segala keresahannya itu dalam file-file di Komputernya. Ia terkenang dengan film serial di Televisi dahulu, Doogie Howser M.D.
Doogie Howser, M.D. adalah film drama kedokteran yang berlangsung selama empat musim di American Broadcasting Company (ABC) mulai 19 September 1989, hingga 24 Maret 1993, dengan total 97 episode.Â
Doogie kerap menuliskan kejadian-kejadian yang dilewatinya, seperti menjadi sebuah konklusi disetiap episodenya, dalam catatan khusus di Komputernya.Â
Jika mungkin Matahari dan Doogie hidup di zaman sekarang, pasti bukan saja menjadi blogger, tapi sudah menjadi seorang influencer di media sosial yang diangkat dari setiap tulisan mereka.
Ternyata apa yang dilakukan Matahari, juga dilakukan oleh Bunga. Dan sama pula, ia banyak mengalami keresahan lewat sudut pandangnya terhadap aneka ragam permasalahan hidup.
Bedanya Bunga lebih suka menuliskannya di diary dan karena ia bisa main musik, beberapa tulisannya telah ia jadikan lagu. Sama seperti Matahari, ia pun tak mengerti semua karyanya itu harus diapakan.
Sejak masuk kuliah, keresahan dan pandangannya terhadap kondisi sosial makin berkembang, apalagi dengan apa yang dipelajarinya di bangku kuliah, tampak related.
Meski tidak dari semua aspek, namun ada hal-hal yang memang dirasakannya sesusai. Artinya ia sama sekali tidak merasa salah jurusan.
Banyak dari teman-temannya yang merasa terjebak karena mereka merasakan bahwa jurusannya salah. Ada anggapan dari mereka "yang penting kuliah aja", sehingga esensi dari keilmuan yang diterimanya terkesan menjadi mubazir.
"Dunia pendidikan kita ini sedang tidak baik-baik saja. Tapi dimananya ya?" batinnya juga di dalam keheningan malam di saat dirinya terjaga.
Bunga  seharusnya sudah hidup enak dengan kekayaan Papanya yang bekerja di perusahaan minyak multinasional, tapi lingkungan sosialnya selalu membuatnya resah.
Dia dijuluki "Sang ratu" oleh teman-teman sekolahnya, karena segala fasilitas sudah didapati dengan gampang, apalagi ia pun hanya dua bersaudara, sama seperti Matahari, hanya saja kakaknya yang lelaki.
Raffles, kakaknya, bekerja di Jepang sebagai tenaga proseional di bidang IT, masih bujang, pasti makin terbayang tingkat kesuksesan keluarga mereka.
Papa dan mamanya ingin Bunga sekolah di luar negeri pula, tapi Bunga merasa, kuliah di negeri ini jauh lebih baik, meski ia menyadari adanya kesalahan di dalam sistem pendidikan di Indonesia, entah apa.
Dengan keresahan yang sama itulah, ketika tanpa sengaja Bunga dan Matahari dipertemukan di acara LDK, rasanya ada hal-hal yang satu getaran.
Dan tanpa sengaja, mereka bertemu ketika sedang sama-sama menunggu bus di sebuah halte, yang ternyata tidak lewat karena kabarnya sedang terjadi tawuran antar pelajar.
"Kamu dah lama di sini?" tanya Matahari
Bunga tersenyum dan menjawab santai, "Ya tinggal nunggu lumut pada numbuh aja ini,"
Matahari kemudian spontan melihat ke sekujur tubuh Bunga.
"Apaan sih?" tanya Bunga risih
"Kalo nggak lumut, biasanya ada jamur juga sih. Kali aja udah ada yang tumbuh," ucap Matahari koplak.
"Nih, rambut gue jadi gondrong gini," balas Bunga
"Udah kaliii.."
Mereka pun tertawa terbahak-bahak sampai para jomblo disekitar mereka minder karena sikap mereka tampak akrab dan begitu mesra, mana ganteng sama cantik lagi mereka ini.
"Udah makan?" tanya Matahari.
"Belum. Mau ntraktir?" tantang Bunga.
"Yuk. Tuh ada tukang bakso. Free kan?" tanya Matahari.
"Free like a bird," jawab Bunga.
"Sip, mari Bung A.." ledek Matahari lagi.
"Cubit nih pake tang," canda Bunga.
Dan mereka pun berjalan ke warung bakso yang ada di pinggir jalan tersebut. Sebenarnya Bakso hanya sarana, karena sepertinya memang mereka berdua ingin ngobrol.
Mau ngobrol apa berdebat ya? Entahlahh...***
BERSAMBUNG
Yang ketinggalan atau mau baca ulang Bab terlewat, silahkan klik sesuai keinginannya:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI