"Kan udah gue bilang. Ini urusan gue. Lo di sini aja. Sakit hati lo sama mereka, gue bayar lunas. Gue bonusin malah."Riana berkata makin sangar.
Zia tak kuat lagi, ia menangis histeris. "Cukup! Cukup Riana. Aku yang mereka hina. Kamu itu cuma kena imbasnya. Biar aku yang nanggung, kamu nggak usah."
"Nggak bisa!"
"Yanaaa..pleaseee..aku udah kehilangan suami. Aku nggak mau kehilangan sahabat. Apalagi dengan cara kayak gini."
"Kok kehilangan? Mereka yang bakal mampus, Zia! Lo tenang aja deh."
"Nggak bisa...aku nggak bisa ngelihat kamu sok jagoan kayak gini..."
Riana terdiam, tubuhnya mluai melemas setelah penuh ketegangan tadi. Ia menatap Zia yang berderai air mata dengan isakan yang menggoncangkan seluruh tubuhnya.
"Aku nggak suka sama kelakuan mereka. Kelakuan yang ngakunya jantan, tapi kelakuannya nggak lebih kayak ayam sayur. Beraninya cuma ngejek perempuan. Bilang janda, lesbi, ahhh...apa saja sesuka mereka. Dipikirnya kita ini nggak punya hati dan nggak bisa marah."
"Itu hak mereka, Riana."
"Enak aja. Kita juga punya hak untuk hidup damai, Zia. Mereka nggak berhak kepo, ikut campur, trus seenak udelnya godain cewek. Emangnya dia pikir, semua cewek gampangan dan bisa dipake? Pikiran mereka itu perut ke bawah aja!" Riana berkata dengan berapi-api.
"Nggak semua laki-laki, Riana,"