perempuan pasti ingin tampil menawan dan menarik, tapi hal itu tidak pernah terjadi pada Zia, si janda cantik beranak satu yang kemolekan tubuhnya masih seperti gadis berusia belia.Â
SetiapZia si janda cantik ini hanya ingin hidup sewajarnya tanpa ingin tampil berlebihan sehingga membuat lawan jenis mengaguminya.
Namun Zia mendadak menjadi idola di lingkungan bahkan dimanapun ia berada sejak suaminya wafat karena kecelakaan tunggal di jalan tol, yang "untung"nya saat itu terjadi suaminya hanya pergi sendirian.
Mungkin, jika kata untung yang sudah diberi tanda petik itu diketahui oleh Zia, ia akan bertanya, "Dimana untungnya?"
Suaminya bukanlah anak orang kaya, bekerja pun hanya sebagai karyawan biasa yang bergaji di atas UMR sedikit, namun karena sering hoki kerap dapat sampingan.
Eits..jangan diartikan sampingan itu sebagai tindak KKN ya!
Di zaman sekarang ini memang jika tidak KKN, rasanya akan sangat sulit sekali maju sampai ke titik yang kita inginkan.
Meski kesannya sinis, hal itu kini sungguh-sungguh dirasakan oleh Zia yang harus menikmati kehidupannya sebagai seorang single mother "bergelar" si janda cantik.
Hasil kerja keras almarhum suami Zia yang boleh dibilang siang-malam membanting tulang memang sangat dirasakan betul oleh dirinya dan Zeynab, anak sematang wayangnya yang kini berusia sekitar sepuluh tahunan.
Hidup di kompleks perumahan "rasa kampung" seperti tempat tinggal Zia memang harus punya mental baja dan muka tembok. Harus siap tahan malu atau malah malu-maluin saja sekalian.
Rumah di komplek perumahan tempat tinggalnya itu adalah warisan dari ayahnya yang seorang PNS jujur. Di masa itu, keberuntungan datang kepada ayahnya yang mendapatkan rumah dinas yang kemudian diperbolehkan untuk balik nama.
Dan jadilah Zia menempati di sana hingga kini. Karena ia tinggal di sana sejak lahir, pasti ia kenal betul tabiat warga di sana. Ya memang begitu itu, bahkan kini lebih kepo dari para orang tuanya.
"Zaman makin modern, tapi pola pikirnya primitif!" kutuk Zia dalam hati saat kesal karena digoda sekelompok orang dewasa tanggung yang nongkrong di gerbang komplek.
Gerbang komplek yang tak pernah sepi, meski sudah berulang kali mereka ditegur oleh Satpol PP ataupun RT, tapi dengan santainya mereka berdalih menyebalkan.
"Yaelah, Pak RT, kayak lahir langsung tua dan baru jadi RT aja sih,"
"Pak RT dulu juga demen nongkrong di sini kan?"
"Ini tongkrongan warisan lho, Pak. Orang tua kita-kita ini kan juga Cs nya Pak RT,"
Tuh lihat...apa nggak ngeselin jawaban mereka!
Pak RT dan perangkat kelurahan saja dianggap angin, apalagi Zia. Maka meski kesal bin dongkol setengah mati, Zia tetap berusaha sabar dan menebar senyum.
"Ma, mama kok diem aja sih digodain abang-abang itu?" tanya Zey yang mulai kritis.
Zia tersenyum dan berkata dalam hatinya, "Zey, kalo mama cowok, udah mama bacok itu orang.."
"Mama sabar ya, hebat," puji Zey yang tak mengetahui isi hati Zia.
"Zey. Nggak semua hal di dunia ini bakal kamu sukai. Dan nggak semua yang kamu sukai itu bakal menyenangkan dirimu," ucap Zia sok menasihati anaknya.
"Hah? Gimana, gimana? Aku nggak ngerti, Ma," Zey bingung dan berusaha mencerna omongan Zia.
"Gini, di dunia ini pasti ada hal yang kamu nggak suka dan sesuatu yang kamu suka. Tapi, semuanya itu bisa terjadi bolak-balik dan malah bikin kita bingung. Nah, supaya nggak bingung, ya kita harus sabar, bersyukur, ikhlas dan tetap berbuat baik." Zia berkata sambil mengelus rambut Zey yang panjang dan hitam.
"Berbuat baik sama orang yang benci kita?" tanya Zey heran, "Emangnya bisa, Ma? Aku sih kayaknya nggak bisa,"
"Ya kita harus coba, Zey,"
"Kalo nggak bisa?" cecar Zey.
"Ketika kamu bicara nggak bisa, kamu akan benar-benar nggak bisa nantinya. Jadi, kamu harus yakin kalau kamu itu bisa," Zia kembali menasihati Zey.
Zia sebagai single mom, harus bisa pula menjadi ayah bagi Zey. Ia harus kuat dan tak boleh lemah. Sesakit apapun, sepedih apapun kehidupan yang ia rasakan, Zey tak perlu tahu.
Mungkin ini hal klise yang juga sudah banyak di derita oleh para perempuan terutama di negeri ini. Perempuan harus tangguh dan kuat dalam menghadapi kesendirian karena ditinggal suami, juga harus kuat dengan aneka badai yang menerpa dirinya kapanpun itu.
Jadi jangan heran juga jika belakangan ini banyak yang menyebut perempuan terutama "emak-emak" sebagai ras terkuat di dunia.
Sebuah julukan satire yang ditujukan untuk meledek kedigdayaan perempuan, setidaknya itulah yang dirasakan oleh Zia. Entah oleh yang lain, bukankan beda pikiran itu adalah hal biasa?
Bagaimana tidak menjadi "ras terkuat di dunia" jika ia harus mengambil alih peran suaminya almarhum. Begitupun dengan yang lain, mereka para "emak-emak harapan bangsa" itu pun setali tiga uang dengan Zia. Tentu dengan beragam masalah, bahkan tidak hanya bicara berperan ganda sebagai ayah bagi anak-anaknya.
Belum lagi dengan "stempel" janda yang melekat!
Masih banyak orang kita yang memiliki pandangan negatif terhadap janda. Apalagi janda muda yang cantik seperti Zia.
Ada yang menganggapnya sebagai perempuan gatal, jarang dibelai alias jablay, dan julukan-julukan lain yang sebenarnya mengarah pada tindak pelecehan.
Hanya karena ulah oknum segelintir, para janda seluruhnya sering terkena getahnya. Norak emang!
Zia yang kini merasakan itu semua selalu ingin memuntahkan apa yang dirasakannya, namun ia masih menyayangi dirinya serta Zey. Ia tak mau ribut dan berkonflik dengan orang-orang di lingkungannya.
"Tapi mereka kurang ajar, Zia!"Â
Riana, teman SMA nya yang tomboy dan belakangan ini sering main ke rumah kerap tersulut emosinya melihat sahabatnya dilecehkan seperti itu.Â
Dan kacaunya lagi, ada gosip tak sedap, eh mana ada gosip yang sedap ya? Sebuah gosip yang akhirnya sampai juga ke telinga Zia dan Riana.
"Ini nggak bisa di diemin Zia!" Riana berkata sambil menghunus golok dan mengasahnya dengan batu asah di dapur rumah Zia.
"Yan, apa-apaan sih kamu. Nggak gitu juga kali," Zia berkata dengan cemas.
"Mereka bilang gue tomboy iya itu emang bener. Tapi gue lesbi? Bjirrr! Nggak terima gue. Apalagi kita dibilang pacaran. Najis! Gue masih waras!"
"Yan. Sadar. Sabar. Orang sini emang begitu," Ia berusaha menenangkan Riana.
"Lo tuh terlalu sabar! Tapi gue bukan elo, Zia. Mereka jual, gue beli. Mau ngerasain permainan golok gue, hah!"
Dengkul Zia mendadak lemas, ia hempaskan tubuhnya untuk duduk di kursi memandang Riana dengan muka berangasan. Cowok abis!
Tak lama Riana selesai mengasah golok milik Zia yang ada di dapur. Ia melihat Golok itu, Zia makin ngeri saat melihat bagian tajam golok itu terkena sinar, begitu mengkilap.
"Ini golok mahal, keren. Punya siapa?" tanya Riana mengagumi golok itu.
"Bapakku," Zia menjawab dengan suara bergetar.
Tak lama kemudian Riana pun beraksi memainkan golok itu dengan sangat lihainya, "Nih, lo lihat, Zi. Sepuluh orang juga berani gue. Abis ini gue tebas sama golok sekeren ini." Riana pamer jurus penutup.
"Riana. Please yan..."
"Kenapa? Ini udah jadi urusan gue. Lo tenang aja," Riana berkata tenang.
"Ya tapi jangan kayak gini dong. Aku ngeri," Zia kian bergetar
"Kan udah gue bilang. Ini urusan gue. Lo di sini aja. Sakit hati lo sama mereka, gue bayar lunas. Gue bonusin malah."Riana berkata makin sangar.
Zia tak kuat lagi, ia menangis histeris. "Cukup! Cukup Riana. Aku yang mereka hina. Kamu itu cuma kena imbasnya. Biar aku yang nanggung, kamu nggak usah."
"Nggak bisa!"
"Yanaaa..pleaseee..aku udah kehilangan suami. Aku nggak mau kehilangan sahabat. Apalagi dengan cara kayak gini."
"Kok kehilangan? Mereka yang bakal mampus, Zia! Lo tenang aja deh."
"Nggak bisa...aku nggak bisa ngelihat kamu sok jagoan kayak gini..."
Riana terdiam, tubuhnya mluai melemas setelah penuh ketegangan tadi. Ia menatap Zia yang berderai air mata dengan isakan yang menggoncangkan seluruh tubuhnya.
"Aku nggak suka sama kelakuan mereka. Kelakuan yang ngakunya jantan, tapi kelakuannya nggak lebih kayak ayam sayur. Beraninya cuma ngejek perempuan. Bilang janda, lesbi, ahhh...apa saja sesuka mereka. Dipikirnya kita ini nggak punya hati dan nggak bisa marah."
"Itu hak mereka, Riana."
"Enak aja. Kita juga punya hak untuk hidup damai, Zia. Mereka nggak berhak kepo, ikut campur, trus seenak udelnya godain cewek. Emangnya dia pikir, semua cewek gampangan dan bisa dipake? Pikiran mereka itu perut ke bawah aja!" Riana berkata dengan berapi-api.
"Nggak semua laki-laki, Riana,"
Riana terdiam dan memandang lurus ke depan, goloknya ia lepas dan jatuhkan ke sofa. Riana iba dan luluh melihat kesedihan Zia.
"Maafin, aku,"
"Iya,"
"Tapi, sampai kudengar mereka nyentuh elo, jangan pernah lo tenangin gue kayak tadi. Orang kayak itu nggak layak hidup di dunia ini. Penjahat kelamin!"
Zia bernapas lega, meski ia tambah khawatir karena paham jiwa Riana yang berangasan itu. Ia juga paham dengan tabiat orang-orang di lingkungannya yang tak bisa diubah dengan singkat.
Hidup menjadi janda memang tidak enak dan Zia siap menjalaninya meski dianggap macam-macam. Ia yakin semua anggapan, fitnah, cacian pada saatnya nanti akan berbalik kepada pembuatnya.
"Kamu harus terus berbuat baik, meskipun orang tidak baik ke kamu. Tugas kita itu hanya berbuat baik, bukan menanggapi segala hal yang tidak baik dari mereka, Zeynab."
Zia si janda cantik ini ingin mengajak anaknya agar tidak menggubris perilaku tidak baik orang untuk tetap melakukan kebaikan, Â karena hidup akan menjadi lebih baik dengan seperti itu. Itu yang sangat Zia yakini...***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H