“Ibuk tidak mati!”
Bentakku pada gadis itu. Lalu ku gebrak-gebrak lagi meja di hadapanku.
“Kak Nora...”
Katanya kemudian.
“pergi.... pergii... pergiiiiiii.................”
Dia menangis dan mundur beberapa langkah. Dengan cepat wanita di sebelahku memegangiku dan membawaku ke dalam. Aku sendiri masih berteriak mengusirnya. Ibuku tidak mati. Dia masih menyulam dan menungguku pulang. Bagaimana bisa dia mengatakan hal tak mungkin itu di hadapanku? Dia pasti gila. Dia gadis gila!
***
Ibuku memang masih menyulam. Selembar kain berwarna biru muda ada di pangkuannya beserta benar warna-warni dan alat sulam berbentuk bulat. Wajahnya yang putih dan selalu berseri-seri kian ceria memandangi sketsa pada kain di pangkuannya. Menyulam memang hobinya, pekerjaan yang sangat menyenangkan baginya. Jika sudah menyulam, maka dia merasa telah menjelajahi seluruh dunia. Banyak gambar yang tertuang disana dan selalu menarik untuk dilihat. Saking senangnya, kadang diapun menyanyi-nyanyi lirih.
Keceriaan itu bergenti amarah ketika sosok lelaki memasuki pekarangan. Mengucap salam lalu berlutut di hadapannya. Ibu langsung bangkit dan mengusir lelaki itu. Menghinanya dengan kalimat-kalimat tak layak di dengar. Biasanya aku berlari, menghampiri Ibu dan menghentikannya. Aku berusaha membuat Ibu masuk ke dalam rumah dan meminta lelaki itu datang lain waktu. Tapi kali ini berbeda.
Kemarahan Ibu bak petir yang menyambar-nyambar di tengah badai. Sosok lelaki itu masih berlutut dan pasrah terhadap apapun yang akan diperbuat Ibu padanya. Aku sekuat tenaga menghalangi Ibu yang sudah membawa sebatang kayu siap untuk memukul.
“Lepas Nora. Biarkan Ibu hajar dia.”