“Ibuk... Ibuk mau kemana?”
Aku mengikutinya dari belakang dan terus mengejarnya. Lelaki yang tadi berlutut itu juga berdiri dan ikut mengejar Ibuk. Tapi Ibuk terus berlari.
“Ibuk...”
Kami saling mengejar hingga di rel kereta api tak jauh dari rumah. Ibu masih di depan, seperti sengaja mendekati rel.
“Ibuuukk.....”
Aku melihat kereta melaju kencang menuju tempat Ibuk berdiri.
“Ibuk lebih baik mati daripada kamu bersama dia!”
“Ibuuuuuuuuuk.................”
Dan tiba-tiba saja kereta itu sudah membuat tubuh Ibuk tak berbentuk lagi setelah berteriak padaku. Darah yang berceceran, tangan dan kaki yang lepas dari tubuhnya, kepalanya yang nyaris terbelah dua. Aku ambruk. Kakiku lemas, dadaku lemas, tubuhku lemas. Yang kutahu, orang-orang berkumpul melihat tubuh Ibuk. Sedangkan dia memegangiku. Ya dia.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan dia, lelaki itu. Dia orang baik, ibuk juga orang baik. Harusnya mereka cocok. Tapi karena permusuhan berakar itu, mereka menjadi tak mungkin menyatu.
Kakeknya dan Kakek buyutku dulu adalah musuh dalam satu kampung. Keduanya sering adu mulut bahkan adu fisik. Dan pada suatu malam adu fisik tak lagi bisa dihindari, kakek buyutku kalah dan kehilangan nyawanya karean satu pukulan tenaga dalam dari kakek Ahdan. Sejak itulah kedua keluarga melarang anak cucu mereka bersama. Kakekku mengajarkan pada Ibuk dan Ibuk mengajarkan padaku. Namun takdir berkata lain, justru aku dan dia mengikat janji sehidup semati.