Ya dia tak salah. Tapi bukankah karena dia aku kehilangan Ibuk? Karena aku egois memilihnya. Karena aku lebih takut kehilangannya. Atau jangan-jangan aku juga senang Ibuk tak ada karena aku bisa bersama dia? Tidak! tidak!!
Dia yang salah. Dia yang harusnya tidak mencintaiku. Dia yang harusnya tak pernah menawariku payung saat hujan meski dia harus kehujanan. Dia yang tak semestinya mengantarku sampai ke depan rumah dan kucing-kucingan dengan Ibuk. Dia yang tak harusnya memberiku tempat duduk saat berdesakan dalam bus. Dia yang harusnya tak membuatkanku sebuah buku puisi untukku. Tidak. harusnya dia tak melakukan itu.
“Nora.....”
Aku mendongakkan kelapa, mataku menangkap seseorang. Seseorang yang baru saja kubicarakan. Dia. Dia berlutut di depanku, memegangi kakiku, seperti memohon tapi tanpa suara. Hanya sesekali dia memandangku, memamerkan air matanya yang mengucur deras dari matanya yang sipit.
“kita bisa mulai semuanya dari awal, Nora.”
Tangannya terulur padaku, memegangiku hangat. Setetes air mata jatuh dari mataku. Sesak rasanya harus melihatnya kembali. Harusnya dia tidak disini, harusnya dia tak pernah ada. Iya kan?
“tidak. pergi. Pergiiiiiiiii..............”
Aku menjerit-jerit histeris. Hingga akhirnya lenganku kembali ngilu dan aku rasai mataku gelap gulita. Dan dia menjadi benar-benar tak ada.
Tamat.