Mohon tunggu...
Digita Nurlia
Digita Nurlia Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Aku tidak hidup untuk membuatmu terkesan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

About Marriage And Its Problems

29 Maret 2023   16:56 Diperbarui: 29 Maret 2023   20:49 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ABOUT MARRIAGE AND ITS PROBLEMS

1. Hukum perdata Islam di Indonesia 

Apa yang dimaksud hukum perdata Islam di Indonesia? Menurut saya, hukum perdata Islam di Indonesia adalah hukum positif yang mengatur kepentingan individu yang berkaitan dengan hukum keluarga Islam, seperti Pernikahan, warisan, jual beli, pertunangan, hibah, warisan, wasiat dan hadiah.

Hukum perdata Islam di Indonesia bersumber dari perpaduan antara hukum perdata, hukum adat dan hukum Islam yang hidup dan berkembang di Indonesia. Hukum perdata Islam di Indonesia adalah hukum atau peraturan Islam yang mengatur  hubungan pribadi dan kekeluargaan  antara warga negara Indonesia yang memeluk agama Islam. Tujuannya agar  hubungan hukum antara seseorang dengan umat Islam lainnya, baik  dalam hubungan keluarga maupun  hubungan perseorangan lainnya yang berlaku di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan menciptakan tatanan hukum,  sosial dan kemasyarakatan.

2. Prinsip atau asas perkawinan  dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI

prinsip perkawinan sangat penting untuk kelangsungan hidup pasangan muda, di indonesia diatur oleh undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang asas perkawinan yaitu :

(1) Mencakup semua realitas yang hidup dalam masyarakat Indonesia saat ini.

(2) Tergantung tuntutan zaman

(3) Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia selama-lamanya.

(4) Pengetahuan tentang hak dan keyakinan beragama setiap warga negara bangsa Indonesia, yaitu bahwa perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya.

(5) Hukum perkawinan menghormati monogami, tetapi poligami dapat dilakukan jika hukum agama mengizinkannya.

(6) Perkawinan dan pembentukan keluarga meliputi orang-orang yang  matang lahir dan batin.

(7) Kedudukan suami istri seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun kehidupan sosial.

Pengertian perkawinan juga sebagaimana yang diberikan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqon Gholidhon kepada yang Taat dan menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.

Kata miitsaaqan ghaliidhan berasal dari firman Allah SWT: "Dan bagaimana kamu akan mengambil mahar yang  kamu berikan kepada istrimu ketika sebagian dari kamu telah bercampur (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) mereka telah membuat perjanjian yang kokoh (miitsaaqan ghaliizhan) denganmu."

Mengenai tujuan perkawinan, pasal berikutnya adalah pasal 3, yang berbunyi: "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan keluarga, yaitu sakinah, mawadda dan Rahmah (kedamaian, cinta dan kasih sayang)." Tujuan ini juga dijabarkan dalam firman Allah SWT: "Sebagai tanda kebesaran-Nya, Dia telah menciptakan untukmu istri dari jenismu, agar kamu mau dan berdamailah dengan mereka, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sungguh, ada banyak tanda kebesaran-Nya bagi orang yang berpikir."

3. Pentingnya pencatatan perkawinan dan dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan sosiologis, religious dan yuridis 

Pencatatan perkawinan penting bagi masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum dalam kaitannya dengan perkawinan dan kelahiran anak-anak mereka. Pencatatan pernikahan itu sangat penting karena perkawinan yang sah tidak hanya mengikuti hukum agama, tetapi juga harus mengikuti hukum negara. Perkawinan yang sah menurut hukum negara harus dilaporkan dan didaftarkan pada otoritas yang tepat.

Apa akibat dari tidak dicatatnya perkawinan? meski perkawinan itu sah menurut agama, namun menurut hukum negara tidak sah. "Di mata negara, perkawinan dianggap tidak sah jika tidak dicatatkan oleh Kantor Urusan Agama (bagi yang beragama Islam) atau oleh Kantor Catatan Sipil (bagi yang non-muslim).

Menurut hal ini, anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan dalam hukum negara mempunyai hubungan keperdataan hanya dengan ibu dan keluarga ibu. Selama ini, dia tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Artinya anak tidak dapat menuntut haknya terhadap ayah. selanjutnya sebagai akibat lebih lanjut dari perkawinan yang tidak dicatatkan itu, baik isteri maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan itu tidak berhak atas nafkah atau warisan dari ayahnya.

Secara sosiologis,  perkawinan di luar nikah akan berdampak, yaitu :

1. gagasan bahwa pelaksanaan ajaran Islam tidak memerlukan campur tangan negara, yang pada akhirnya memunculkan gagasan bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan negara, yang dikenal dengan istilah sekularisme.

2. Akan mudah dijumpai perkawinan tidak tercatat/perkawinan yang hanya menyangkut unsur agama dan bukan proses perkawinan.

3. Jika ikrar perkawinan dilanggar, pasangan memiliki pilihan untuk membubarkan perkawinan  secara sukarela tanpa konsekuensi hukum, sehingga hampir semua kasus menimpa perempuan, yang kemudian  berakibat negatif bagi anak-anaknya.

religious : pencatatan pernikahan agama yang benar merupakan keuntungan dalam hal memfasilitasi urusan publik dan hukum.

yuridis : Masalah pencatatan nikah siri tidak mempengaruhi sah tidaknya nikah siri menurut hukum Islam, karena hanya menyangkut aspek administratif. Hanya saja, jika  perkawinan tersebut tidak dicatatkan, maka suami istri tersebut tidak memiliki bukti yang nyata bahwa mereka melakukan perkawinan yang sah. Dari segi hukum perkawinan akibatnya tidak diakui oleh pemerintah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (no legal  force). Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak dilindungi undang-undang bahkan dikatakan tidak pernah ada.

4. Pendapat ulama dan KHI tentang perkawinan wanita hamil

Menurut Ulama Mazhab yang empat yang populer di Indonesia khususnya (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagaimana suami istri. Karena hamil seperti itu bukan berarti nikahnya haram. Sedangkan menurut Ibnu Hazm (Zhahiriyah)  keduanya dapat (sah) menikah bahkan bercampur asalkan bertaubat dan dihukum cambuk karena sama-sama berzina.

Menurut Imam Syafi'i menikahkan wanita hamil karena dengan laki-laki yang menzinahinya atau laki-laki yang bukan menzinainya dibolehkan dan akad nikahnya sah tanpa ada persyaratan taubat dan melahirkan sebelum menikah, akan tetapi apabila yang menikahinya bukan yang menghamilinya dilarang untuk berhubungan badan sampai melahirkan.

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, perkawinan tidak sah  kecuali ada yang bertaubat dan melahirkan anak sebelum menikah. Jika keduanya menikah tanpa penyesalan, pernikahannya batal sampai kedua syarat di atas terpenuhi, pernikahan dapat menikah lagi.

perbedaan pendapat Imam Madzhab ini disebabkan oleh perbedaan pemahaman  ayat ketiga  surat An-Nur karena keduanya bertemu dalam satu tempat yaitu nasab, waris dan wali nikah.

 Sebaliknya, dalam kitab KHI, wanita yang hamil karena zina diperbolehkan menikah tanpa harus menunggu kelahiran anaknya.

Adapun aturan-aturan yang mengatur perkawinan, dalam penilaian hukumnya masih termasuk dalam kategori 'boleh', bukan 'harus' dalam pengertian hukum adat.

Pasal 53  Hukum Islam berbunyi sebagai berikut:

(1) Perempuan yang hamil di luar nikah boleh menikah dengan laki-laki yang  menghamilinya.

(2) Menikah dengan wanita hamil berdasarkan Pasal 1, dapat melakukan tanpa menunggu  kelahiran anaknya.

(3) Jika perkawinan itu dilakukan dalam keadaan hamil, perkawinan ulang setelah anak yang dilahirkannya tidak disyaratkan.

Dari bunyi pasal yang dikutip dalam pasal 53 KHI Ketentuannya berbunyi sebagai berikut :

(a) Perkawinan wanita hamil diperbolehkan bagi setiap wanita hamil tanpa menyebutkan alasan kehamilannya.

(b) Perkawinan wanita hamil dapat dilakukan dengan pria yang menghamilinya.

(c) Perkawinan wanita hamil dilakukan tanpa didahului eksekusi jika kehamilan itu disebabkan oleh perzinahan sukarela dan nyata.

(d) Perkawinan wanita hamil dapat dilakukan tanpa menunggu kelahiran anak  dalam kandungan.

(e) Perkawinan  sudah menjadi perkawinan yang sah  dan perkawinan baru tidak diperlukan.

5. Perceraian adalah perbuatan yang dibenci Allah dan halal, Upaya menghindari perceraian 

Sesuatu yang (pada prinsipnya) sah tetapi  dibenci (atau bahkan lebih dibenci) oleh Allah SWT adalah talak (perceraian). Namun, jika tidak ada  jalan keluar dan tidak ada kesepakatan dalam hubungan keluarga, maka perceraian dapat dianggap sebagai langkah terakhir. Menurut Ibnu Sina, ketika ada orang yang memiliki sifat dan kebiasaan yang bertentangan, beberapa orang memiliki sifat dan kebiasaan tertentu yang menghalangi mereka untuk hidup damai dan harmonis.

Inilah cara membuka jalan bagi perceraian  untuk masalah rumah tangga yang tidak memiliki titik temu. Oleh karena itu, Allah SWT memberikan solusi sebagai pintu keluar untuk digunakan dalam keadaan tertentu dan pada akhirnya ketika tidak ada  harapan untuk memperbaiki dan melanjutkan ikatan perkawinan.Atau bahkan setelah melalui tahapan-tahapan perbaikan yang dicapai oleh masing-masing suami dan istri dalam keluarga.

Solusi bagi keluarga yang terjebak dan dengan berbagai persoalan yang belum terselesaikan adalah perceraian. Perceraian atau talak dibenarkan hanya  dalam keadaan terpaksa dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, baik syarat dari pihak laki-laki yang bercerai maupun sebaliknya.

upaya menghindari perceraian yaitu:

1. menjaga komunikasi yang baik dengan pasangan

2. menghormati pasangan dan memperlakukan dengan baik

3. menghindari tindakan kekerasan

4. menghindari egoisme

5. memperbaiki kesalahan dengan jujur dan tulus

6. berdoa, tawakal dan berserah diri kepada Allah.

 

6. Review book

Judul : HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

Penulis: Dr. H. Khoirul Abror, M.H

Penerbit : LADANG KATA

Terbit : 2020

Cetakan : Kedua, Februari 2020

Reviewer : Digita Nurlia (212121131)

Kesimpulan yang dapat saya ambil dari buku ini adalah menjelaskan faktor-faktor penyebab perceraian. Selain membahas faktor-faktor penyebab perceraian, buku ini juga membahas implikasi perceraian dan cara penyelesaiannya, baik bagi suami, istri, anak, maupun  harta bersama dalam membangun keluarga bersama.

Buku ini juga menjelaskan dampak negatif perceraian terhadap perempuan dan anak, yaitu dampak psikologis dari perasaan rendah diri dan menyalahkan perempuan karena merasa  ketidakmampuan suaminya untuk melakukan poligami yang mengakibatkan pemuasan kebutuhan biologis manusia dan  ketidakmampuan untuk melayani manusia bahagia.

Hikmah yang dapat saya petik adalah bahwa kehidupan berumah tangga ternyata membutuhkan persiapan yang matang agar tercipta keluarga yang harmonis. Juga penyebab konflik rumah tangga  beragam dan berkisar dari faktor ekonomi hingga kekerasan, pelecehan, perselingkuhan. Pembaca yang ingin segera menikah karenanya harus mempersiapkan diri dengan baik agar prosesnya tidak langsung berakhir dengan perceraian di kemudian hari.

DIGITA NURLIA_HKI 3D_212121131_UTS HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun