Mohon tunggu...
Didot Mpu Diantoro
Didot Mpu Diantoro Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Komunikasi

Aktif di dunia periklanan dan komunikasi pemasaran sejak tahun 1996, mendirikan perusahaan periklanan sendiri sejak tahun 2001. Terlibat sebagai panitia dalam beberapa event olahraga berskala nasional maupun internasional sejak tahun 2008. Aktif sebagai konsultan komunikasi dan pembuat konten media sosial.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sedekah Subuh

9 Juni 2024   02:04 Diperbarui: 9 Juni 2024   07:11 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam setengah empat pagi. Rizky masuk tanpa mengetuk ke ruang kerja ayahnya. Telinganya segera terjewer lembut oleh sekelompok nada blues yang menyergap begitu pintu terbuka. Ayahnya masih asik menyentil-nyentil rangkaian aksara di papan kunci laptop.

Tanpa menengok, ayah menegur: "Begadang lagi? Bukannya besok pagi mau jogging?"

"Baru bangun. Tidur dari jam 10 tadi." Rizky langsung merebahkan diri di sofa di belakang ayahnya.

Nada blues tetap menggeliat di telinga. Memberi pijatan halus di otak yang sedang terpacu. Sekitar lima atau enam puntung rokok dengan abu yang berserakan di asbak, hanya bisa memberikan kejutan sementara untuk yang baru masuk ke ruangan berpendingin itu.

Rizky tidak berminat pada bungkus rokok yang ia tebak yakin hanya akan berisi dua atau tiga batang lagi. 

"Lima menit, yah. Boleh?"

Mendengar suara anaknya, tangan sang ayah langsung terangkat dari laptop. Mengambil rokok yang masih terbakar di asbak. Memutar kursi dan langsung menatap anaknya dengan senyum. 

Setiap pertanyaan dari sang anak akan selalu mampu memberikan semangat untuk menjawab. Memberinya jeda nikmat dari kepenatan berpikir, meski pun akan berpikir lagi untuk menjawab pertanyaan anak lelakinya yang semakin beranjak dewasa. 

"Yes?"

"Susah buat ga berpanjang cerita, yah. Tapi, aku usahakan singkat ya, yah."

"Lanjutkan." Satu hisapan rokok, sang ayah menyenderkan kepalanya di kursi, angkat kaki.

"Berpikir positif tentang teman ternyata ga gampang ya, yah. Ternyata, banyak juga teman yang bisa anjing gitu kelakuannya ke kita. Meski kita tetap berusaha berbuat baik, seperti yang selalu ayah pesankan sejak aku kecil."

"Berapa lama kamu simpan hal ini sebelum ngomong ke ayah?"

"He he he ... Cukup lama sih, ada setahun lebih. Cuma berusaha untuk mengabaikan saja."

"Hanya sebatas itu kemampuanmu mengabaikan?" 

Rokok yang sudah hampir habis terbakar dijejalkan ke mulut asbak. Menambah volume abu.

"Malah sudah lupa, sebenarnya. Tapi, karena diabaikan, malah muncul lagi dan lagi gangguannya."

"Oke, kronologi?"

"Tahun lalu aku bantuin temen buat acara reuni SMA. Dari awal sudah malas, sih. Apa lagi melihat karakter sebagian panita adalah karakter yang sebenarnya bikin malas berinteraksi. Cowok cewek, sama saja, gossiper. Tapi, terus dipaksa. Ya sudah. Bismillah. Seperti biasa, karena reuni SMA, kerja rela."

"Ya, ayah juga gitu khan. Reuni SMA, urusan pertemanan. Berteman harus berbagi. Jangan ambil keuntungan. Sesimpel itu."

"I know it for sure, yah. Tapi, memang ngehek aja sih."

"Hussyy ... Iya, ngehek. Terus?"

"Iya, yah. Berbagi. Membantu. Kerja rela. Apa lagi coba? Reuni sma khan. Urusan pertemanan. Sudah siap dengan setelan berpikir begitu. Bantu deh carikan vendor yang murah buat show director, videografer dan lain-lain. Karena kelihatan teman-teman panitia memang kurang pengetahuan soal jalanin event. Biasa order dan terima jadi. Tambah lagi, minta Herry, kameramen di kantor buat bantu, kasih uang lelah dari kantong sendiri. Ada tambahan peralatan karena situasi lapangan, bayar sendiri. Ikut kontribusilah, tanpa ngomong ke panitia."

"Bagus, dong. That's my son."

"You taught me well. Bantu jadi co-mc juga."

"Oke, langsung ke poin sekarang."

"Ngehek, yah."

"Husssy ... iya, ngehek. Terus?"

"Videografer yang aku sodorin, ngehek. Minta tambahan buat biaya editing. Padahal janji awalnya ga gitu. Sekali ini ajalah dia kukasih kerjaan. Aku ambil materinya, edit sendiri."

"Memangnya kamu bisa jadi mc?"

"Co-mc, yah, bantuin mc yang disewa. Itu juga ngehek. He he he ... khan penasaran juga, gimana teman-teman menilai penampilanku sebagai mc. Waktu ditanya, malah dikira mau nagih honor sebagai mc. Wakakakakak ... segitu paniknya ngurus duit tuh bendahara. Orang nanya apa, dikira apa, dijawab apa."

"Iya ya, ngehek ngehek tipis juga tuh. Lanjut."

"Itu baru latar belakang."

"Hmmm, panjang juga. Lanjut."

"Iya, waktu evaluasi acara, pas ada acara lain, aku izin absen. Ada beberapa catatan kejadian yang ngeselin juga sih sewaktu acara, yang bikin malas buat ikutan lagi. Ya itu tadi, yah. The gossipers itu yang bikin males. Lanjut ya. Video aku edit, terus tayangkan di Youtube. Kasih link ke teman-teman. Raw material kusimpan untuk diserahkan ke panitia nantinya."

"Mas, ceritamu berjalan normal. Belum kelihatan konfliknya."

"Ngehek, yah."

"Jiah, ngehek terus, tapi apa?" 

Gelas kopi yang sudah lama dingin dengan isi yang sudah hampir merapat ke ampas. Sebatang lagi rokok tercerabut dari bungkusnya. Cesss. Kembali bara merah kecil dan asap melompat dan segera bergabung dengan barisan nada blues yang masih mengalun.

"Ngehek, yah. Jadi omongan. The gossipers pun langsung pada merancap. Gegara agak lama nyerahkan hasil editing. Narik dari videografer ngehek itu aja makan waktu, karena harus kejar posisinya. Hampir dua minggu baru dapat salinannya. Jadi, proses edit makan waktu tiga minggu. Birahi mereka buat nonton kelakuan waktu reuni semakin meningkat."

"Anjrit. Diksimu, mas." Ayah ga bisa menahan umpatan lucunya, meski dihalangi asap rokok.

"Kengehekan bertambah, yah. Video sudah tayang di Youtube. Raw material mau diserahkan ke siapa, itu yang kemudian jadi masalah berkepanjangan sampai saat ini."

"Lhah, kok bisa?"

"Aku coba kontak ketua panitia dan salah satu panitia, coba janjian buat kasih hasil rekaman. Dibilang menolak, bisa jadi tebakan. Ketua panitia bilang, ada rapat dan harus keluar kota. Satunya lagi, janjian tapi tentatif. Screen shot wa mereka tahun lalu masih ada nih, yah."

"Lho, kok tahun lalu? Ga langsung selesai?"

"Ngehek lah yah."

"Hussyy ... hak hek hak hek, iya ngehek, terus?"

"Setahun lewat, raw material itu ga pernah berpindah dari hard disk. Eh, beberapa bulan lalu, mendadak tempatku didatangi teman-temen yang menanyakan soal itu. Mereka bilang bahwa banyak yang ngomong negatif tentangku karena belum menyerahkan hasil rekaman."

"Walah."

"Aku jelaskan ke mereka situasinya. Mereka tetap bersikap ga mau tahu, aku harus serahkan barang itu segera. Ga mau repot, aku wa lagi ketua panitia dan teman panitia lainnya buat atur kapan ketemuan buat salin data dari hard disk. Sama saja."

"Enden."

"Ngehek, yah. Selama beberapa hari, teman teman yang datang ke rumah itu, heboh, tapi ya heboh doang. Ga berbuat apa-apa juga."

"Jadi, belum terjadi juga tuh serah terima sumber gossip ngehek itu?"

"Nggak. Ngehek khan. Tapi, terus mereka lupa setelah itu. Aku juga lupa."

Blues lembut semakin melangut. Spotify premium. Ayah ganti pilihan. The Best of Opick. Menjelang subuh, bangun suasana religious.

"Nah, ini ngehek terakhir, yah. Kemarin ada wa lagi dari temen lain. Kembali menyampaikan hal yang sama. Pinjam kata ayah ya, anjrit. Gaya negurnya terkesan berusaha halus, tapi ambil posisi yang sama, sekadar menyalahkan. Dijelaskan lagi, tetap ga mau tahu. Kamu pelihara citra negatif itu setahun lebih. Aku sebagai teman, cuma mengingatkan."

"Hmmm ..."

"Nonsense, yah. Ada khan ya teman yang memang punya kepuasan sendiri untuk bisa menyalahkan."

"Ya, selalu ada ada. Manusiawi. Bukan hanya teman. Masyarakat kita memang begitu."

"Yups. Persoalannya terulang. Ada teman yang menegur, seolah mengingatkan. Tapi, jelas berada pada posisi menyalahkan. Mereka berlaku seolah menjaga rahasia negara, ketika aku tanya tentang siapa sih yang sibuk ngegossip, memang sengaja memelihara gossip itu agar ada pihak yang bisa dipersalahkan. Tanpa kemauan untuk mencari kejelasan. Memang harus ada bahan. Kalau tidak, gatal gatal kali tubuh mereka."

"Ha ha ha ... lanjut, mas. Cepetan, sudah mau subuh nih."

"Kembali ke omongan awal ya. Soal berpikir positif tentang teman ternyata ga gampang karena banyak anjing yang kelakuannya seperti teman ke kita."

"Terbalik. Ah, lapor pak banget sih kamu."

Rizky nyengir mendengar komentar ayah.

"Aku berpikir positif tentang ayah, nih."

"Lhah? Memang semestinya begitu khan."

"Iyes, minta duit, yah."

"Nah, lho. Kok, ngono? Buat apa?"

"Rizky ga mau rugi terlalu banyak. Udah rugi tenaga, waktu, pikiran, uang. Mestinya sih ga rugi ya kalau mengatasnamakan pertemanan. Sekarang rugi juga kalau harus beli eksternal hard disk. Copy file itu, terus kasih ke temen. Foto serah terima, sebarkan di wag. Biar beres."

"Sekarang kamu nih yang ngehek ke ayah."

"Ayah dapat pahala aja, mumpung mau subuh. Sedekah subuh, yah. Dua ratus ribu aja. Cuma 500 Gigabyte. Sekarang murah. Pagi pesan pakai gosend same day, siang copy file, malam kirim ke salah satu panitia. Oke, yah."

Terdengar adzan subuh. 

Ternyata sudah lebih dari lima menit pembicaraan itu. Ayah ambil hape, kotak katik sebentar, perlihatkan layar hape berisi bukti transfer. Berdiri, ambil dua sarung di atas buffet. Tanpa kata, sodorkan sarung ke Rizky. Berdua mereka berangkat ke masjid yang hanya berjarak lima rumah.

Rasanya sejumlah angka yang tertera di layar hape akan menyelesaikan masalah. Anak beranak sepakati sebagai sedekah. Tetap saja pada Subuh, mereka mencari berkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun