Kepala  Wiwin terasa melayang mendengar kata-kata Denny yang begitu jelas.  Untuk beberapa saat ketiganya diam. Setelah bisa menenangkan diri, Wiwin  berbicara.
"Kita belum lama kenal. Baru dua kali ini."
"Nggak  Mbak, bagi saya mengenal calon istri tidak diukur dengan waktu. Tetapi  dengan intensitas doa yang serius. Cukuplah Allah yang memberi isyarat  dengan membuka jalannya. Dan semua isyarat itu bagi Denny telah banyak.  Pertama, ketika Mbak memberikan saya syal di masjidil Harom. Kedua, doa  saya untuk bertemu dan mengembalikan syal terkabul. Ketiga, di Jamarot  saya pernah berjanji, dan Allah tak memberikan aral untuk menghalangi  saya memenuhi janji saya untuk datang ke Majalengka. Keempat, pesan  terakhir Dinar, shalih, cantik, dan punay adik sepantar sudah klop  dengan permintaan Dinar."
"Benar kak Denny, Mira setuju."
"De! Setuju apa?"
"Setuju dilamar. Nanti kita ke orang tua di ruang tamu, diseriusin."
"Ah kamu De, kaya ngerti saja!"
"Aaaah Teteh juga suka ke Kak Denny kan?"
"Tahu dari mana kamu De?" Wiwin benar-benar gemas melihat keterlibatan adiknya.
"Dari  pertanyaan kakak yang ini. Tahu dari mana? Berarti kan Teteh suka. Iya  kan?" kata Mira terkekeh. Muka Wiwin memerah. Denny tertawa melihat  kelucuan kakak adik itu.
"Sudah lah De, jangan ngawur kamu!"