Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Multazam dan Dua Hati Haji Tua

5 Oktober 2017   23:06 Diperbarui: 5 Oktober 2017   23:23 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan desember 2016 pertemuan alumnus haji 2005 berlangsung.

Kali ini bertempat di rumah Haji Sujapar. Pertemuan menjaga silaturahim sesama jamaah haji tak seperti bulan lalu. Dulu di awal tahun pertama ada tiga puluh tujuh persta. Seiring berjalannya waktu, telah banyak anggota yang meninggal.

Bulan lalu masih ada tujuh peserta yang tersisa, kini di rumah Haji Sujapar tinggal lima orang. Haji Sujapar, Haji Hambali, Haji Abdul Kohar, Hajjah Syarifah dan Hajjah Maryati.

"Kita tinggal berlima, seperti ikrar kita dulu di bulan pertama usai hajian 2005, kita akan selalu menghidupkan silaturahim ini. Sampai kapan Pak Haji Hambali?" tanya Haji Sujapar seraya tersenyum. Yang ditanya manggut-manggut.

"Sungguh sakral ....." kata Haji Hambali seperti bergumam.

"Terangkan Hajjah Maryati!" kata Haji Sujapar berganti kepada perempuan yang dikenal pendiam.

"Ikrar kita, persaudaraan haji ini sampai maut menjemput kita masing-masing."

"Alhamdulillah .... begitulah ikrar kita dua belas tahun yang lalu." Kata Haji Sujapar tertawa sumringah.

"Kita kan tetap mengadakan pertemuan ini sampai kapanpun, terserah mau berapa orang di antara kita yang masih diberi kesempatan hidup oleh Allah." Sela Haji Abdul Kohar.

"Insya Allaaaaahhhh!

Dari kelima haji tersebut, Haji Sujapar adalah duda. Istrinya Hajjah Saodah telah meninggal dua tahun lalu. Haji Hambali duda sejak naik haji. Haji Abdul Kohar dan Hajjah Syarifah adalah suami istri. Yang terakhir adalah Hajjah Maryati, suaminya meninggal lima tahun yang lalu.

***

Paaak!

Haji Sujapar tergagap. Laki-laki itu tersadar dari lamunanya. Ia baru sadar rupanya baru menyadari kalau anak laki-lakinya dari tadi telah menunggunya untuk menengok anak dan memantu Hajjah Maryati yang baru pulang haji kemarin hari Jumat.

Hari itu Haji Sujapar bersama anaknya menyambut anak menantu Hajjah Maryati. Hingga agak siang keduanya berpamitan. Namun ketika sudah berada di teras, Haji Sujapar menepok jidat sendiri. Ia menepuk pundak anaknya.

"Ahmad, kamu tunggu di mobil, ayah ada perlu lagi dengan Bu Hajjah."

"Oooo..."

"Ada yang lupa."

"O iya Yah."

Setelah anaknya menuju mobil, Haji Sujapar memandang Hajjah Maryati. Yang dipandang mengernyitkan dahi.

"Boleh kita bicara sedikit lagi?" tanya laki-laki itu pelan.

"Ada yang terlupakah?"

"Benar Bu Hajjah, ada satu yang terlupa."

"O iya silakan, mari masuk ..... silakan duduk!"

Setelah duduk kembali di ruang tamu, Haji Sujapar menghela nafas dalam.

"Begini Bu Hajjah .... Kita ingat ikrar persaudaraan haji, terakhir kali di rumah saya setengah tahun silam. Ketika kita berlima."

"Iya , iya."

"Bulan Januari lalu, Haji Abdul dan Hajjah Syarifah telah dibawa putranya ke Aceh. Lalu... mmm..... Haji Hambali telah wafat bulan kemarin."

"Iya... rasanya begitu cepat mereka meninggalkan kita."

"Akhir Oktober ini, kita pertemuan di siapa?"

"Seharusnya di rumah Haji Abdul Kohar, tapi ...."

"Itulah masalahnya."

"Kalau begitu di rumah Pak Haji saja."

"Masa di rumahku lagi?"

"Ya sudah, akhir Oktober kita pertemuan di sini."

"Kita tinggal berdua ......" kata Haji Sujapar pelan.

"Hmh..... " Hajjah Maryati mendesah. Matanya menerawang kosong. Sahabat-sahabat alumnus persaudaraan haji telah hampir habis.

"Masihkah kita tetap memegang teguh ikrar sampai mati?"

"Nggak tahu."

"Persaudaraan dibubarkan tidak mungkin."

"Apakah kita berdua juga harus tetap bertemu?"

"Ikrar. Isi ikrar itu demikian ...."

"Kalau begitu akhir bulan ini kita bertemu, di sini."

"Itu keputusan yang jelas. Saya setuju bu Hajjah...."

"Iya, iya ....."

***

Sejak pertemuan terakhir mengingatkan ikrar, Haji Sujapar merasa aneh sendiri. Rumah keduanya tidak terlalu jauh, hanye bersebelahan desa. HP keduanya punya. Grup WA persaudaran juga masih ada, hanya saat ini anggotanya tinggal empat. Sayangnya, yang dua di Aceh, yang lain di Majalengka.

Selain itu kadang-kadang pula Haji Sujapar bertemu dengan Hajjah Maryati. Jadi jika akhir bulan ada pertemuan persaudaraan haji, bagaimana? Namun laki-laki itu memutuskan untuk tak ambil pusing. Ketemuan biasa ya biasa, pertemuan persaudaraan haji adalah pertemuan organisasi.

Hari itu hari terakhir bulan Oktober. Sesuai janji dan jadwal, pertemuan persaudaraan haji bertempat di Hajjah Maryati. Laki-laki itu telah beberapa saat duduk terpekur di karpet yang di tengahnya telah terhidang beberapa penganan. Laki-laki itu mendesah.

"Apa acara kita hari ini Bu Hajjah?"

"Tidak tahu."

"Apa yang harus kita bahas lagi kali ini?"

"Tidak tahu."

"Terus apa gunanya kita bertemu?"

"Silaturahim."

"Dalam kebingungan begini?"

"Tidak tahu."

"Ikrar persaudaraan? Silaturahim sampai mati?"

"Ya kenapa tidak?"

"Ibu Hajjah, maaf, maaaf banget , bagaimana jika ... jika ..... emmm tapi maaf ya..." tiba-tiba tenggorokan laki-laki itu terasa tersekat.

"Kenapa Pak Haji?"saja.

"Emmm.... tapi saya berharap Bu Hajjah tak akan marah."

"Oh... bapak serius?"

"Serius. Serius minta maaf sebelumnya."

"Katakanlah."

"Bu Hajjah Maryati ... emmm..... emm...... kenapa kita tidak berfikir jika silaturahmi haji antara kita, kita lakukan di rumah kita saja?"

"Maksudnya?"

"Rumah kita. Ya, rumah kita. Bukan rumah Bu Hajjh ataupun rumah Sujapar."

"Pak?"

"Kita tinggal satu rumah."

"Pak?"

"Silaturahim sampai mati."

"Pak?"

"Di penghujung usia kita yang sugah hampir tujuh puluh tahun, kita masih butuh teman untuk bertukar fikiran. Untuk saling menumpahkan kegelisahan hati. Juga menjalankan amanat persaudaraan haji kita. Haji Abdul dan Hajjah Syarifah sudah pasti, mereka suami istri. Praktis tinggal kita berdua. Bukankah itu akan lebih baik, dan lebih bermanfaat silaturahim kita jika kita satu... kita satu rumah ... resmi.... res .... Resmi sebagai suami istri....."

Hajjah Maryati tertunduk.

Wanita tua itu sama sekali tak menyangka Haji Sujapar menyatakan itu begitu lugas. Selama ini tak ada firasat apa-apa. Namun sebagai wanita ia tidak serta merta menyambut ajakan Haji Sujapar. Namun tetap saja ajakan laki-laki itu menjadi bahan pikiran dan ia coba turunkan ke hati, secara perlahan.

***

Malam telah larut.

Dahlan, anak Hajjah Maryati yang baru pulang menunaikan ibadah haji tahun ini, melihat ibunya terpekur di mushollah rumah. Perempuan tua itu lama tertunduk. Bahkan kemudian terdengar suara isaknya.

Perlahan anak laki-lakinya itu mendeham. Perempuan tua itu menoleh. Anak laki-lakinya itu dipeluknya.

"Dahlaaan....."

"Ibu menangis?"

"Kenapa Ibu? Tak biasanya ibu seperti ini, biasanya ibu tegar menghadapi semua masalah."

"Dahlan ...."

"Iya Bu."

"Kamu ingin tahu apa yang menyebabkan Ibu menangis?"

"Kalau ibu berkenan, silakan Ibu cerita......"

"Dahlan ...."

"Iya Bu."

"Dahlan, setua ini, kemarin ada yang mengajak Ibu menikah lagi."

"Wah???? Bener Bu?" tanya Dahlan kaget sambil mengguncang-guncang pundak ibunya.

"Kok kamu tampak gembira?"

"Syukurlah Ibu .... Ibu bakal punya teman."

"Kamu betul gembira?"

"Doa Dahlan terkabul Bu!"

"Doa apa Lan?"

"Siapa yang mengajak Ibu menikah Bu?"

"Pak Haji Sujapar."

"Alhamdulillaaaahhhhh ya Allah ya Rabb! Terkabul doa hamba....." kata Dahlan lalu bersujud syukur, kemudian memeluk ibunya.

"Kenapa rupanya?"

"Setiap usai thowaf, baik wajib, maupun yang sunah, Dahlan akhiri dengan sholat dan doa di depan Multazam, sebuah tempat mustajabah di antara Hajar Aswad dan Pintu Ka'bah. Doa agar ibu hamba disatukan dengan Pak Haji Sujapar. Ya Bu, Dahlan berdoa sejak menginjakkkan kaki di masjidil Harom, hingga saat thowaf Wada'. Termasuk pula di tempat mustajabah lain seperti Roudhoh di masjid Nabawi dan sebagainya."

"Dahlan........"

"Maafkan Dahlan ibu ...... putra Ibu ini tahu, di persaudaraan haji 2005 tinggal Pak Haji Japar dengan Ibu. Akan lebih berkah jika Ibu dan beliau bersatu. Dahlan ridlo Pak Haji Sujapar jadi ayah Dahlan...."

Perempuan tua itu memeluk anaknya kembali. Kali ini tangisnya lebih deras. Ia tahu, kemustajaban Multazam disaput keikhlasan akan mendatangkan bukti nyata.

Hari berikutnya perempuan tua itu menata hati. Menahan detakan tak keruan di dadanya ketika sesekali Haji Sujapar menelpon, atau mengatakn hal lain. Dan tentu ketika minggu depan ia akan mendengarkan jawaban perempuan itu.

Hajjah Maryati telah siap mental. Terbayang di matanya, 2005, ketika di depan multazam juga mendoakan kebehagiaan untuk anak-anaknya. Kini semua anak-anaknya berbahagia bersama keluarganya.

"Assalaamu'alaikum bu Hajjah!" terdengar kalimat Haji Sujapar di HP.

"Multazam!" jawab Hajjah Maryati.

"Apa Bu?"

"Mmmm.... mm... maaf... maaf.... Pak Haji, wa'alaikumusalam!"

Perempuan tua itu menghela nafas dalam. Ia menata hatinya yang kali ini berdetak tidak keruan mendengar suara dari laki-laki yang datang dari doa anaknya. ***

                                                          Majalengka, 04 Oktober 2017

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun