Rumah itu telah dijual pemilik lamanya. Penghuni barunya tampak seperti orang kaya. Perabotan yang dibawa bagus-bagus. Garasi mobilnya juga berisi mobil keluaran baru. Kata orang-orang, ia adalah pejabat mutasi baru dari kabupaten lain.
Seminggu berikutnya, di teras rumah terpampang nama pemilik rumah. Drs. H. Margono, S.Pt. Pemasangan nama ini yang kemudian diikuti dengan syukuran mengundang para tetangga di lingkungan RT mendadak menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Sebelum pemilik rumah memperkenalkan diri, sebagian saling pandang.
“Nama saya adalah Margono. Lengkapnya Doktorandus Haji Margono Es-pe-te!” katanya memperkenalkan diri. Sontak beberapa orang saling pandang meyakinkan saling pandang ketika baru masuk ke ruang dalam.
“Namanya seperti perkutut si Naryo,” bisik Dayun kepada Bilung.
“Pas,” kata Biliung seraya menunjukkan jempolnya.
“Perkutut mahal. Ini juga orang kaya, gelarnya hebat.”
“Iya, nggak salah Naryo ngasih nama perkututnya dengan Margono.”
“Bagaimana kalau dia kita panggil Pak Perkutut?”
“Ssstttt… jangan! Dosa! Kita nggak boleh memanggil nama orang dengan sebutan yang jelek!”
“Memangnya Pak Perkutut itu jelek ya?”
“Jelek laaaah!”