Sebuah kontemplasi yang ia lakukan akhir-akhir ini, rupanya telah memutar ingatannya untuk kembali membayangkan desa kelahirannya. Tak ada siapa-siapa. Guru. Hanya Samekto, Guru Samekto, yang mungkin masih bisa ditemui untuk diziarahi.
Siang itu, Adi Kartiko, yang telah dikenal banyak orang menjadi Kyai Adi Kartiko menangis di pelukan tubuh kurus kering. Wajah kuyu. Pipi peot. Jemari gemetar semacam menderita tremor.
“Pak Guru ..... hhhh..... ibu kemana?”
“Ibumu sudah lama meninggal.”
“Ooo... inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun.... Ibu .... hanya ibu dan Pak Guru yang seharusnya aku temui di sini ..... aku terlambat Paaakk....”
“Suu...suudahlah Adi... semua sudah takdir. Semua orang akan berhenti pada titik yang digariskan Allah.”
“Siapa yang ngurus Bapak selama ini?” tanya Adi Kartiko sambil menggenggam tangan gurunya. Matanya melihat ada secangkir air bening dan setengah piring nasi. Hanya itu. Tanpa lauk-pauk.
“Nggaak ... nggaak ada ...”
“Bapaaakkkk...... kenapa nggak cari Adi ke pesantren? Kenapa nggak ada yang ngabarin Adi?”
“Adi, bapak nggak penting bagi siapapun. Bapak bersyukur, kadang masih ada yang peduli mengirim air dan nasi.”
“Kalau masih ada! Kalau tidak ada?!”