Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Tangisan Santri Terakhir

6 Desember 2016   09:45 Diperbarui: 6 Desember 2016   10:00 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Siapa tahu kamulah orang terakhir yang masuk sorga!”

“Wuiiih ..... enak sekali Pak! Mau Pak, mau ..... “

Melihat Adi tertawa senang, bibir Samekto terkatub. Ada perasaan haru. Dalam pandangan dirinya, Adi adalah anaknya. Anak kandung tak pernah dipercayakan kepada dirinya oleh Tuhan, mungkin anak inilah jalan menuju dirinya menjadi ayah yang sesungguhnya.

Lebih terenyuh lagi, Adi Kartiko kini hanya hidup bersama neneknya yang telah sakit-sakitan. Ayahnya, yang disebut Adi titip pesan kepada Samekto, kini entah di mana rimbanya. Tak ada yang tahu. Amanat itupun hanya diberi tahu nenek  Adi kepada cucunya itu.

***

Sebuah mobil merayap jalanan di punggung pegunungan.

dok-pri
dok-pri
Mata laki-laki pengemudinya nanar melihat pemandangan tempat yang telah ia tinggalkan belasan tahun. Di suatu tempat yang dulu berdiri sekolahnya, ia tak menemukan apa-apa lagi. Hanya ilalang dan batang-batang singkong yang tak teratur. Desanya semakin sepi.  Ia mencoba melihat ke beberapa arah. Bukit yang berada di belakang sekolahnya tak ada. Longsor? Mungkin sekali. Namun ia tak pernah mendengar kabar apapun.

Ketika beberapa anak kecil melintas di depannya, laki-laki itu menanyakan.

“Ada yang tahu di mana rumah Pak Samekto? Pak Guru?”

“Ooo... Kakek Mekto? Terus sedikit lagi ke sana Pak!”

Telinganya brengingingmendengar kata “Kakek Mekto”. Setua apakah Pak Guru Mekto? Pak Mektooo.... gumam laki-laki itu sambil menggelengkan kepala. Waktu telah memisahkan dirinya dengan orang tua sekaligus gurunya. Itu terjadi sebab ketika dirinya hendak hijrah ke pesantren di Jawa Timur, neneknya meninggal. Tinggallah ia sebatang kara. Sepeninggal dirinya ke pesantren, nama Samekto tak terlintas lagi di benaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun