“Siapa tahu kamulah orang terakhir yang masuk sorga!”
“Wuiiih ..... enak sekali Pak! Mau Pak, mau ..... “
Melihat Adi tertawa senang, bibir Samekto terkatub. Ada perasaan haru. Dalam pandangan dirinya, Adi adalah anaknya. Anak kandung tak pernah dipercayakan kepada dirinya oleh Tuhan, mungkin anak inilah jalan menuju dirinya menjadi ayah yang sesungguhnya.
Lebih terenyuh lagi, Adi Kartiko kini hanya hidup bersama neneknya yang telah sakit-sakitan. Ayahnya, yang disebut Adi titip pesan kepada Samekto, kini entah di mana rimbanya. Tak ada yang tahu. Amanat itupun hanya diberi tahu nenek Adi kepada cucunya itu.
***
Sebuah mobil merayap jalanan di punggung pegunungan.
Ketika beberapa anak kecil melintas di depannya, laki-laki itu menanyakan.
“Ada yang tahu di mana rumah Pak Samekto? Pak Guru?”
“Ooo... Kakek Mekto? Terus sedikit lagi ke sana Pak!”
Telinganya brengingingmendengar kata “Kakek Mekto”. Setua apakah Pak Guru Mekto? Pak Mektooo.... gumam laki-laki itu sambil menggelengkan kepala. Waktu telah memisahkan dirinya dengan orang tua sekaligus gurunya. Itu terjadi sebab ketika dirinya hendak hijrah ke pesantren di Jawa Timur, neneknya meninggal. Tinggallah ia sebatang kara. Sepeninggal dirinya ke pesantren, nama Samekto tak terlintas lagi di benaknya.